REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata Negara, Prof Juanda, berpendapat, penyerahan pengelolaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Presiden Jokowi kurang pantas jika ditinjau dari aspek hukum. Sebab, pimpinan KPK yang menyerahkan mandat pada presiden masih berstatus pimpinan KPK.
“Tapi di sisi lain, mereka tidak mejalankan tugasnya dan terkesan mendua,” ujar dia ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (15/9).
Menurut Juanda, hal tersebut menjadi dilematis karena pimpinan KPK, yakni Agus Rahardjo dan Laode M Syarif, belum mengundurkan diri, tetapi menyerahkan mandat pada presiden malah dilakukan. Sementara, Saut Situmorang sudah menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya.
“Ini bukan menyelesaikan masalah, padahal saat ini saja masih sangat banyak permasalahan di KPK,” kata dia.
Secara de facto, ia mengatakn, memang masih ada dua pimpinan KPK yang aktif seperti Basaria Pandjaitan dan Alexander Marwata. Namun, ia mengatakan, mereka tidak dapat menjalankan KPK secara efektif.
“Karena pimpinan KPK itu memang harusnya ada lima dan saat ini tinggal dua, kita harus melihat dari sisi efektifitasnya,” tutur dia.
Ia mengatakan jalan keluar bagi presiden terkait hal ini, yakni mengangkat pelaksana tugas bagi tiga pimpinan yang menyerahkan mandat tersebut. Kendati demikian, ia menambahkan, langkah tersebut tidak bakal mudah dilakukan karena para pimpinan KPK juga tidak menyatakan pengunduran dirinya.
“Karena kalau mau mengangkat yang baru pasti akan terbentur karena mereka masih menjadi pimpinan KPK. Jadi, para pimpinan itu, terlepas dari Saut, harus menyatakan sikap untuk mudur agar bisa digantikan dengan Plt dan tidak menyulitkan presiden,” kata dia.
Dia juga menyarankan agar presiden memiliki orang yang dipercaya kredibilitasnya jika harus memiliki pelaksana tugas yang akan bertugas hingga Desember mendatang. Kredibilitas tersebut terkait pemahaman hukum dan tugas manajemen.
“Atau, (opsi lainnya) jika mau cepat Plt-kan saja capim yang terpilih sekarang,” ungkap dia.