REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh DPR RI. Jokowi juga meminta pembahasan RKUHP dilanjutkan oleh anggota DPR periode selanjutnya, mengingat masa kerja anggota DPR periode sekarang sudah hampir habis.
Namun, Jokowi masih punya pekerjaan rumah lain, yakni pembahasan revisi UU nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Revisi UU ini juga memantik pro dan kontra lantaran di dalam pembahasannya, pemerintah dan DPR sepakat merevisi aturan soal pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus korupsi.
Lantas apakah Jokowi punya sikap sendiri soal pembahasan RUU Pemasyarakatan yang kontroversial ini? Jawabannya, belum. Jokowi mengaku belum punya sikap khusus soal pembahasan revisi UU Pemasyarakatan yang diyakini memudahkan napi koruptor untuk bebas bersyarat.
"Saya saat ini masih fokus kepada RUU KUHP, yang lain menyusul. Karena ini yang dikejar oleh DPR, kurang lebih ada empat," kata Jokowi.
Menjelang pelantikan Presiden dan Wapres terpilih serta habisnya masa kerja anggota DPR periode saat ini, sejumlah aturan perundang-undangan memang dikebut. Sayangnya, produk perundang-undangan yang digodok justru diyakini melenggangkan jalan para koruptor.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menilai produk hukum yang dihasilkan pada 2019 ini sangat mendukung tindak pidana korupsi. ICW melihat keterkaitan antara pelemahan KPK, revisi UU KPK, RUU pemasyarakatan hingga RKUHP yang sejalan dengan hal tersebut.
"Lengkap sudah pada 2019 ini lima pimpinan KPK diisi oleh figur yang diduga punya masalah, kemudian KPK juga diperlemah dengan regulasi revisi UU KPK, dan ketika pelaku korupsi masuk di penjara maka dia akan dapatkan kemudahan untuk pengurangan hukuman lewat RUU pemasyarakatan," ujar Kurnia dalam diskusi di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (20/9).
Wakil Ketua Komisi III DPR Erma Ranik mengatakan, dalam rancangan UU Pemasyarakatan, DPR dan pemerintah sepakat meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Diketahui dalam PP itu bahwa salah syarat pemberian remisi pembebasan bersyarat untuk napi kasus korupsi adalah rekomendasi penegak hukum (KPK).
"Kita berlakukan PP 32 tahun 1999 yang menyebut kita mengatur dengan korelasi dengan KUHP," kata Erma.
Jika PP Nomor 99 Tahun 2012 diatur syarat rekomendasi KPK untuk pembebasan napi korupsi, PP 32 tahun 1999 tidak mengatur keharusan rekomendasi tersebut. "Pengadilan saja. Kalau vonis hakim tidak menyebutkan bahwa hak anda sebagai terpidana itu dicabut maka dia berhak untuk mengajukan itu," ujarnya.
Politikus Partai Demokrat itu mengatakan, lembaga permasyarakatan bisa menilai layak tidaknya seorang narapidana mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Sepanjang putusan pengadilan tidak menyebut bahwa hak-hak narapidana dicabut, maka lembaga pemasyarakatan bisa memberikan remisi dan pembebasan bersyarat.
"Boleh mereka mengajukan. Diterima atau tidak tergantung Kemenkumham," ucapnya.