REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua YLBHI Asfinawati menilai jika RKUHP disahkan tanpa ada perubahan atau sama seperti yang sekarang maka makin banyak orang dipenjara. Padahal, Kementerian Hukum dan HAM kerap mengeluhkan overload atau kelebihan kapasitas penjara.
"Saya bayangkan nanti bakal banyak orang masuk penjara. Tentu penjara semakin penuh,” kata Asfinawati dalam diskusi bertajuk "Mengapa RUU KUHP Ditunda?" di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9).
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menyatakan RKUHP masih menyisakan banyak catatan. Asfinawati mengatakan pasal-pasal yang bermasalah seperti pada Bab II terkait penghinaan kepada presiden dan wakil presiden.
"Aturan ini menjadi pasal karet dan bisa berdampak negatif. Sehingga bisa menjadi persoalan, karena membungkam kebebasan sipil," ujar dia.
Karena itu, kata Asfinawati, YLBHI meminta agar DPR RI menyisir secara mendalam pasal-pasal yang tidak sesuai dengan demokrasi. Kemudian jika ada hal-hal yang diterima formula pasalnya itu harus sesuai.
Sebab, produk RKUHP saat ini masih jauh dari pengertian demokrasi yang sesungguhnya. "Meski RKUHP mengganti kolonial itu, tetapi apa artinya jika hukum bangsa sendiri seperti hukum kolonial. Jadi rasanya juga kolonial, yaitu menindas. Menindas kebebasan berpendapat dan lain-lainnya,” tutur Asfinawati.
Sebelumnya, pemerintah dan DPR sudah mencapai kesepakatan pada pembahasan tingkat pertama RKUHP. Kedua pihak sepakat membawa rancangan ini ke sidang paripurna. DPR RI sudah menjadwalkan paripurna pada 24 September 2019.
Namun, RKUHP mendapat penolakan dari sejumlah aktivis dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan juga organisasi masyarakat (Ormas). Penolakan ini mendorong Presiden Joko Widodo untuk meminta DPR RI menangguhkan pengesahan RKUHP tersebut.
"Saya perintahkan Menkumham untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR ini, agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahannya tak dilakukan DPR periode ini," tutur Joko Widodo.