REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dewan Jagung Nasional (DJN) menyatakan, pasokan jagung pakan saat ini tersedia sekitar 60-70 persen di gudang-gudang pabrikan. Jumlah tersebut dinilai mampu memenuhi kebutuhan pakan ternak hingga 2-2,5 bulan ke depan sehingga impor jagung dengan alasan apapun tak bisa dibenarkan.
Sekretaris Jenderal DJN Maxdeyul Sola mengatakan, target produksi jagung pemerintah sebesar 33,957 juta ton di tahun depan bukan menjadi acuan impor tidaknya jagung nasional. Menurut dia yang terpenting, sepanjang produksi jagung mencukupi kebutuhan meski produksi belum atau bahkan melebihi target yang ditetapkan, kebijakan impor tak dikeluarkan.
“Saya rasa di gudang-gudang pabrik itu jagung masih sangat cukup, impor enggak perlulah,” kata Sola saat dihubungi Republika, Rabu (25/9).
Dia melanjutkan, ketersediaan jagung pakan saat ini ditopang dari produksi pada panen di Februari tahun ini. Dari panen tersebut, tren harga jagung pakan nasional pun dinilai stabil di kisaran Rp 4.040-Rp 4.300 per kilogram (kg).
Harga ini menurutnya sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 58 Tahun 2018 tentang Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen.
Dalam beleid itu disebutkan, harga acuan penjualan jagung di tingkat konsumen baik dari jenis jagung dengan kadar air sebesar 15 persen, 20 persen, 25 persen, 30 persen, hingga 35 persen sebesar Rp 4.000 per kg. Sola mengatakan, ketersediaan pasokan jagung saat ini membuat harga cenderung stabil dan tak bergejolak jika dibandingkan tahun lalu.
"Tahun lalu itu kan harga kena Rp 5.000-an, sekarang (harganya) masih aman,” kata dia.
Meski terjadi kemarau yang panjang dan membuat sejumlah lahan pertanian kekeringan, pihaknya mengaku belum ada dampak berarti terhadap pasokan jagung nasional. Dia menduga, hal itu disebabkan adanya peralihan tanam oleh petani dari komoditas padi ke jagung yang dinilai lebih prospektif di musim kemarau saat ini.
Anggota Perhimpunan Peternak Nusantara (PPUN) Guntur Rotua menyampaikan, harga jagung pakan nasional saat ini memang cenderung stabil. Harga tersebut didukung dengan tersedianya pasokan hasil impor pada Maret 2019 ini yang dilakukan secara bertahap dengan skema buka tutup.
“Harga sudah benar, dan pasokannya ada. Tapi itu kan pasokan asalnya dari impor,” kata Guntur.
Berbeda dengan tahun lalu, lanjut dia, harga jagung pakan nasional memang merangkak naik ke level tinggi sekitar Rp 6.000-Rp 7.500 per kilogram (kg). Tahun ini, harga pakan cenderung stabil namun tak bisa mengimbangi harga ayam peternak mandiri di pasaran. Di mana rata-rata harga ayam peternak masih anjlok di level Rp 14 ribu per kg.
“Kita kan enggak terlalu ngaruh, soalnya pakan itu kita beli di feedmill (perusahaan pakan ternak). Tahun lalu kan feedmill itu naikin harga Rp 1.000 per kg, sekarang baru turun Rp 300 per kg. Jadi enggak terlalu signifikan,” ungkapnya.
Menurut dia kenaikan harga pakan di feedmill itu berlangsung sejak 2018 awal hingga meroket naik di atas Rp 7.500 per kg di akhir-akhir tahun lalu. Sedangkan impor jagung, kata dia, bahkan dilakukan pemerintah di saat ada panen raya jagung di Maret 2019.
Pada saat itu, dia menceritakan, harga jagung petani bahkan menyentuh level terendah sekitar Rp 3.000 per kg. Kendati demikian dia menilai, ketersediaan pakan dan stabilitas harganya memang cukup berpengaruh terhadap produksi peternakan.
Sementara itu Ekonom dari Institute for Development of Econimics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, sejauh ini kualitas produksi ayam nasional belum dapat berdaya saing lebih jauh. Hal itu karena kontribusi biaya pakan masih menjadi yang terbesar sekitar 40 persen biaya budidaya ternak.
“Masalah utama yang masih ada adalah harga jagung pakan kita ini masih sangat mahal jika dibandingkan dengan negara-negara lain,” ungkapnya.