REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menanggapi tuntutan mahasiswa yang ingin Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dibatalkan atau diulang dari awal. Menurutnya, itu merupakan hal yang tidak mungkin.
"Untuk mengatakan 'kamu ulang kembali ini', ah no way. Sampai lebaran kuda, enggak akan jadi ini barang," ujar Yasonna di Gedung Kemenkumham, Kuningan, Jakarta, Rabu (25/9).
Ia menjelaskan, bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari beragam suku dan budaya. Sehingga, RKUHP dinilai tak dapat disetujui dan memuaskan bagi masyarakat yang heterogen ini.
"Indonesia negara yang heterogen, dari Aceh Sumatra Utara, Sumatra Barat, sampai Papua sana berbeda kultur, beda budaya, beda persepsi. Maka memaksakan itu semua seragam tidak bisa," ujar Yasonna.
Meski saat ini masih ada pihak yang tak mengerti pasal-pasal yang berada dalam RKUHP, pemerintah dan DPR siap menjelaskan hal tersebut. Karena menurut Yasonna, ada misinformasi antara pemerintah, DPR, dan masyarakat terkait RKUHP, khususnya pada pasal-pasal yang dinilai kontroversial.
"Kami mau mengkoreksi pertama misunderstanding, jangan disinformasi dan kalau masih ada yang sudah kita jelaskan terang benderang duduk bersama-sama, masih kita perbaiki, mari kita duduk bersama," ujar Yasonna.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengaku kecewa lantaran pengesahan RKUHP ditunda. Menurutnya, hal tersebut sebenarnya sudah memenuhi standarisasi untuk diterapkan dalam negara demokrasi Indonesia seperti saat ini.
Ia mengaku heran dengan aksi demonstrasi para mahasiswa belakangan yang menolak sejumlah pasal yang dianggap kontroversial. Padahal, sudah seharusnya RKUHP yang merupakan warisan kolonial Belanda untuk diganti dengan yang lebih demokratis saat ini.
"KUHP ini adalah KUHP demokrasi, negara batasi segala bentuk tindakan yang sifatnya represif terhadap rakyat. Maka dari itu penjara diganti dengan denda," ujar Fahri.