REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Nawir Arsyad Akbar, Rizkyan Adiyudha, Ali Mansur, Antara
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menyatakan DPR RI telah menyepakati untuk membahas Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) pada periode 2019-2024. Bambang berharap DPR RI periode ke depan bisa memperbaiki pasal-pasal yang menjadi kontroversi.
Pria yang akrab disapa Bamsoet ini menyatakan, DPR RI periode 2014-2019 hanya punya sisa masa jabatan tiga hari. Sehingga, sisa waktu tersebut tidak memungkinkan bagi DPR RI untuk melakukan perbaikan.
"Berarti artinya periode depan," kata Bamsoet di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Rabu (25/9).
Sebelumnya, Bamsoet sempat terdengar ragu untuk menegaskan pembahasan Revisi UU untuk periode selanjutnya. Namun pada Rabu (25/9), Menkumham Yasonna Laoly yang menjadi representasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pembahasan RKUHP menegaskan agar pembahasan itu ditunda sampai periode berikutnya.
"Mengingat waktu yang sangat pendek, maka apa yang disampaikan saudara Laoly tadi mungkin saja bisa sampai sana (periode berikutnya)," ujar dia. Selain RKUHP, Revisi UU Permasyarakatan pun akan turut dibahas di periode berikutnya.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menegaskan, RKUHP tidak akan dibatalkan atau dibahas dari awal. Menurutnya, tuntutan mahasiswa untuk mengulang pembahasan RKUHP dari awal merupakan hal yang tidak mungkin.
"Untuk mengatakan 'kamu ulang kembali ini', ah no way. Sampai lebaran kuda, enggak akan jadi ini barang," ujar Yasonna di Gedung Kemenkumham, Kuningan, Jakarta, Rabu (25/9).
Ia menjelaskan, bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari beragam suku dan budaya. Sehingga, RKUHP dinilai tak dapat disetujui dan memuaskan bagi masyarakat yang heterogen ini.
"Indonesia negara yang heterogen, dari Aceh Sumatra Utara, Sumatra Barat, sampai Papua sana berbeda kultur, beda budaya, beda persepsi. Maka memaksakan itu semua seragam tidak bisa," ujar Yasonna.
Meski saat ini masih ada pihak yang tak mengerti pasal-pasal yang berada dalam RKUHP, pemerintah dan DPR siap menjelaskan hal tersebut. Karena menurut Yasonna, ada misinformasi antara pemerintah, DPR, dan masyarakat terkait RKUHP, khususnya pada pasal-pasal yang dinilai kontroversial.
"Kami mau mengkoreksi pertama misunderstanding, jangan disinformasi dan kalau masih ada yang sudah kita jelaskan terang benderang duduk bersama-sama, masih kita perbaiki, mari kita duduk bersama," ujar Yasonna.
Anggota Komisi III DPR RI Taufiqulhadi menyatakan, seluruh fraksi DPR dan pemerintah memang telah sepakat untuk membahas RKUHP di periode berikutnya. Anggota Panitia Kerja RKUHP ini menyebut, anggota DPR RI periode 2019-2024 bisa melanjutkan pembahasan RKUHP ini.
"Kini sudah bisa di-carry over (diteruskan)," kata Taufiqulhadi.
Berdasarkan Revisi UU Peraturan Perubahan Perundang-undangan (PPP) yang baru saja disahkan DPR, pembahasan undang-undang yang tidak tuntas pada periode sebelumnya bisa diteruskan oleh periode berikutnya dengan Kesetujuan seluruh fraksi. Dengan demikian, pembahasan RKUHP tidak dilakukan lagi mengulang dari awal.
Wakil Ketua DPR RI Utut Adianto pun menyebutkan, bahwa anggota parlemen telah sepakat untuk menunda pengesahan RKUHP. Dia mengatakan, RKUHP tidak akan disahkan oleh DPR periode 2014-2019.
"Kalau kemarin, kesepakatan lobi, begitu kesepakatannya," kata Utut saat berkunjung ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) di Jakarta, Rabu (25/9).
Meski Utut mengakui, secara teoritis masih ada kesempatan bagi DPR periode saat ini untuk mengesahkan RKUHP. Hal tersebut, katanya, mengingat masih belum ditutupnya masa sidang paripurna terakhir di parlemen yakni pada 30 September 2019.
"Tapi kemarin sudah sepakat, enggaklah (disahkan)," kata Wakil Sekretaris Jendral Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
Seperti diketahui, gelombang aksi mahasiswa menolak RKUHP pecah di berbagai daerah sejak Senin (23/9) hingga Rabu (25/9). Bukan hanya RKUHP, para mahasiswa juga memprotes RUU Permasyarakatan, Minerba dan Pertanahan. Akhirnya DPR menunda pengesahan RKUHP dan Revisi UU Pemasyarakatan. RUU Minerba dan Pertanahan sendiri belum disahkan diparipurnakan DPR RI.
Pekerja memperbaiki pagar pascaaksi unjuk rasa mahasiswa menolak Undang-Undang KPK hasil revisi dan rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Pasal bermasalah
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati mengatakan, setidaknya ada 17 isu bermasalah di RKUHP berdasarkan penelusur per 15 September. Pasal-pasal yang menegaskan isu-isu tersebut di RKUHP dinilai tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia.
"Kami masih memetakan dan masih banyak masalah, ada 17 isu bermasalah di RKUHP. Itu terkait banyak hal, misalnya yang terkait dengan perlindungan perempuan, kepastian hukum, demokrasi dan pasal penghinaan presiden," tutur Maidina dalam diskusi di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat pekan lalu.
Kemudian, ICJR juga mencatat adanya sejumlah pasal kontroversial seperti pasal penggelandangan, pasal tentang memberi minum orang yang sudah mabuk, maupun pasal unggas yang masuk ke pekarangan yang sudah diberi benih. Pasal-pasal ini menurut dia merupakan bunyi dari KUHP hasil warisan Belanda sebelumya.
"Itu bunyi pasal Belanda masih ada, hanya sedikit dimodifikasi di RKUHP dan dia dimasukan di RKUHP. Itu menggambarkan bahwa proses perumusan RKUHP tidak berbasis evaluasi. Seharusnya pemerintah evaluasi dulu pasal mana yang harus masuk RKUHP dan mana yang harusnya tidak," ungkapnya.
Dengan kata lain, Maidina menyebut perumus RKUHP gagal mengambil peran untuk mengevaluasi pasal yang sudah tidak relevan lagi. Dia mencontohkan, pasal penggelandangan sebenarnya selama ini telah diatur oleh pemerintah daerah dalam tataran administrasi mereka.
"Itu sudah masuk perda, rehabilitasi, panti rehab itu tataran administrasi pemda, tapi perumus RKUHP gagal mengevaluasi ini dan masuklah rumusan itu di RKUHP tanpa ada evaluasi," ujar Maidina.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai masih banyak pasal yang multitafsir dalam RKUHP yang berpotensi menjadi persoalan apabila diterapkan di tengah masyarakat. "Ada pasal yang secara substansi bermasalah, misalnya membungkam kebebasan sipil, pasal makar, dan pasal menghina presiden," kata Asfinawati dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (21/9).
Menurut dia, ada pasal yang menyasar ruang pribadi dalam pasal-pasal di RKUHP, seperti terkait dengan perzinahan karena pandangannya relatif. Asfinawati uga mengingatkan RKHUP malah jadi menambah pidana pemenjaraan.
Padahal saat ini, dibutuhkan bentuk pemidanaan baru karena penjara atau lembaga pemasyarakatan banyak yang sudah penuh. "Bayangan saya bakal banyak orang masuk penjara ketika KUHP baru diterapkan. Harapan penjara tidak penuh, tidak akan terjadi," ujarnya.