Jumat 27 Sep 2019 07:20 WIB

Pendatang dan Warga Setempat Wamena Minta Jaminan Keamanan

Tokoh adat dan pemda setempat mulai berupaya menormalisasi situasi di Wamena.

Warga memadati Pangkalan TNI AU Manuhua Wamena, Jayawijaya, Papua, Rabu (25/9/2019).
Foto: Antara/Iwan Adisaputra
Warga memadati Pangkalan TNI AU Manuhua Wamena, Jayawijaya, Papua, Rabu (25/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kerusuhan yang terjadi selepas aksi unjuk rasa di Wamena, Jayawijaya, Papua, pada Senin (23/9) lalu masih menyisakan ketakutan di kedua belah pihak baik warga pendatang maupun warga asli Papua. Pemerintah diminta bertindak selekasnya untuk mencegah terjadinya konflik horizontal.

"Karena itu, dari situasi rusuh ini semua panik, baik itu yang pendatang maupun pribumi itu yang harus kita berikan rasa aman," ujar Ketua Dewan Adat Papua Domi Surabat yang saat ini berada di Wamena saat dihubungi Republika, Kamis (26/9).

Ia menuturkan, selepas kerusuhan, banyak warga asli dan pendatang yang masih mengungsi pada Kamis (26/9). Sebagian warga asli bahkan ada yang tidur di hutan-hutan di sekitar Wamena.

Ia menuturkan, tokoh adat dan pemerintah daerah setempat mulai berupaya menormalisasi situasi di Wamena, termasuk mengevakuasi warga ke tempat yang aman dari tempat pengungsian dan hutan-hutan. Warga yang kediamannya tidak menjadi sasaran pelemparan dan pembakaran massa juga diminta kembali.

Sejauh ini baik tokoh adat maupun pemerintah daerah juga sudah melakukan pendekatan kepada warga dengan cara masing-masing. Meski begitu, Domi tetap berharap ada peran dari pemerintah pusat.

Menurut dia, pemerintah pusat harus melakukan pendekatan dengan membuka diri terhadap penyelesaian secara terbuka dan komprehensif. Terlebih, mengembalikan situasi normal di Papua agak sulit karena sewaktu-waktu kejadian rasialisme bisa saja terulang. "Karena ini kan situasinya tidak 100 persen pulih. Jadi, sewaktu-waktu bisa terjadi karena semua pihak kan belum punya kesepakatan bersama," ujar Domi.

Kemudian, pendekatan kedua, tanggung jawab semua pihak dan elemen untuk memberikan rasa aman kepada warga asli Papua ataupun orang pendatang. "Sejauh ini belum ada konflik horizontal, tapi ada situasi yang berkembang bahwa ada satu kelompok yang sedang muncul. Misalnya, kemarin saya hari pertama, hari kedua, kemarin terus pantau, tapi ada satu kelompok itu yang mengarahkan menjadi konflik horizontal," kata Domi.

Ia meminta pemerintah pusat tak memelihara ilusi bahwa kondisi di Papua baik-baik saja. "Menko Polhukam (Wiranto), semua orang di Jakarta mengatakan Papua sudah aman, sudah damai, tapi kondisi hari ini kan muncul lagi. Situasi untuk rasa aman kepada pendatang dan lain-lain itu pasti tanggung jawab semua," katanya.

photo
Suasana aktivitas jual beli di Wamena, Jayawijaya, Papua, Kamis (26/9/2019).

Domi menambahkan, saat kerusuhan pada Senin lalu itu baik warga asli Papua maupun pendatang sama-sama panik. Masyarakat adat pun mengarahkan pendatang masuk lingkungan gereja untuk tinggal sementara agar aman. "Mereka harus berlindung ke gereja lalu setelah itu kita antar ke pihak yang berwajib bagaimana untuk mereka dilindungi," kata Domi.

Terkait kerusuhan di Wamena, tokoh agama di Jayawijaya turun ke kampung-kampung untuk menyosialisasikan pentingnya keamanan dan ketertiban untuk memulihkan situasi pascakerusuhan. "Saya akan turun ke arah bagian barat dan utara karena ke selatan dan timur saya sudah jalan, supaya kita beri pemahaman," kata Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jayawijaya Pendeta Esmon Walilo di Wamena, kemarin.

Pendeta Esmon mengatakan, para tetua di kampung-kampung menyesalkan insiden yang terjadi di Wamena. FKUB menyampaikan turut berduka kepada seluruh korban dan mengharapkan penegak hukum mengungkap provokator yang memotori aksi anarkistis pada Senin (23/9).

Ia mengatakan, pelajar Jayawijaya yang terlibat aksi itu dipaksa oleh oknum yang hingga kini belum diketahui. "Jadi, anak-anak di sini, mereka tidak mau ikut demonstrasi, tetapi mereka dipaksa untuk ikut. Mereka yang tidak ikut disiram bensin, ada yang dipukul," kata dia.

Kerusuhan meletus di Wamena menyusul aksi yang dipicu kabar soal tindakan rasialis seorang guru di wilayah itu. Ratusan siswa SMK/SMK yang kebanyakan berseragam menuntut guru terkait diproses hukum.

Dalam perjalanan aksi, para peserta unjuk rasa menjadi emosional dan melakukan pelemparan terhadap sejumlah bangunan. Tindakan itu dibalas aparat keamanan dengan tembakan gas air mata dan penembakan.

Aksi kemudian berujung ricuh dan massa melakukan pembakaran terhadap sejumlah gedung pemerintahan dan toko-toko. Sebanyak 30 warga meninggal dalam kerusuhan itu. Menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian, kebanyakan yang meninggal adalah pendatang.

Selepas kerusuhan itu, warga asli Papua mengungsi ke kabupaten-kabupaten di sekitar Wamena. Sedangkan, warga pendatang mengungsi ke kodim, polres, dan lanud angkatan udara setempat. Jumlah pengungsi sejauh ini diperkirakan mencapai 5.000 jiwa.

photo
Suasana ruangan Kantor Bupati Jayawijaya yang terbakar saat aksi unjuk rasa di Wamena, Jayawijaya, Papua, Kamis (26/9/2019).

Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wamena kemarin mendapat tambahan 58 petugas medis untuk mendukung pelayanan bagi korban kerusuhan. Direktur Utama RSUD Wamena Felly Sahureka mengatakan, rumah sakit umum daerah mendapat tambahan 28 petugas medis dari dinas kesehatan provinsi dan 30 petugas medis dari TNI untuk melayani korban kerusuhan Wamena.

Felly mengatakan, pengiriman tambahan petugas medis sangat membantu operasional rumah sakit karena setelah kerusuhan di Wamena sebagian tenaga medis yang bekerja diRSUD ikut mengungsi. Sejak Senin (23/9) hingga Kamis (26/9), RSUD Wamena menangani 71 pasien korban kerusuhan dan merujuk 20 di antaranya ke rumah sakit di Jayapura. “Dengan keadaan yang tidak terduga, kami pun sudah meminta tambahan obat dari provinsi," ujar dia.

Sebanyak 327 kepala keluarga (KK) perantau Minang di Wamena juga dikabarkan berharap bisa dipulangkan ke kampung halaman karena sudah tidak memiliki usaha dan harta benda di Papua. "Tiga ratus dua puluh tujuh KK ini sekitar 900-an orang. Semua sekarang menyelamatkan diri di tenda pengungsian dan berharap untuk bisa pulang ke kampung halaman," kata Ketua Ikatan Keluarga Minang (IKM) Papua, Zulhendri Sikumbang, dihubungi dari Padang, Kamis.

Ia mengatakan, seusai peristiwa kerusuhan para perantau sudah tidak punya tempat untuk ditinggali, padahal mereka memiliki istri dan anak yang masih kecil-kecil. Selain pendidikan anak yang telantar, hidup di tenda pengungsian sangat berat bagi bayi dan balita. “Karena itu, mereka sangat berharap bisa pulang ke kampung halaman bertemu dengan sanak keluarga,” kata Zulhendri.

Ia menyatakan, sudah mencoba berkoordinasi dengan Pemprov Sumbar terkait persoalan ini. Namun, jumlah perantau sangat banyak dan butuh dana sangat besar untuk kembali ke Padang.

Zulhendri berharap warga Minang di kampung halaman bisa ikut membantu agar seluruh perantau di Wamena bisa diungsikan ke kampung halaman. Dalam kerusuhan di Wamena, sebanyak 10 korban di antaranya berasal dari Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar. Jenazah korban kerusuhan telah dipulangkan kemarin. n mimi kartika/antara ed: fitriyan zamzami

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement