REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI Supratman Andi Agtas menyarankan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan dialog dengan DPR RI terkait polemik perlu atau tidak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang KPK. Dialog diperlukan agar Presiden bisa mengambil keputusan yang tepat.
"Soal Presiden mau mengeluarkan Perppu, ya itu hak konstitusional Presiden, tidak bisa kita halangi, tetapi sebaiknya menurut saya yang paling penting adalah dialog di antara lembaga Kepresidenan dan lembaga DPR itu penting," kata Supratman di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (7/10).
Dia menjelaskan, di luar perppu, ada dua mekanisme yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan polemik tersebut yaitu judicial review dan legislative review. Menurut dia, judicial review belum memungkinkan karena revisi UU KPK belum diundangkan dan legislative review sangat memungkinkan dilakukan saat ini.
"Kalau komunikasi politik antara Presiden dengan DPR beserta kemungkinan dengan seluruh pimpinan partai politik, maka jalan ketiga melakukan legislative review itu sangat mungkin bisa dilakukan," ujarnya.
Supratman menilai, Presiden bisa melakukan dialog antarketua umum partai politik yang lolos parlemen karena sebelumnya dialog dengan parpol koalisi di pemerintah sudah dilakukan Presiden. Menurut dia, tidak ada salahnya Presiden meminta pendapat sembilan ketum parpol untuk dimintai pendapatnya terkait polemik Perppu KPK.
"Tapi itu terserah, tergantung pertimbangan dan kalkulasi politik Presiden. Saya dalam posisi tidak bisa menilai apa yang akan terjadi dengan inisiasi presiden untuk mengeluarkan Perppu," katanya.
Dia mengatakan, DPR tidak mau berandai-andai terkait Perppu KPK karena publik masih menduga-duga apakah jadi keluarkan atau tidak.
Namun, dia menekankan, ketika proses pengesahan revisi UU KPK, ada tiga fraksi yang menyatakan menolak terutama terkait dengan pemilihan Dewan Pengawas KPK.
"Tentunya DPR apalagi fraksi-fraksi tidak bisa mengintervensi, karena itu adalah hak subjektifitas presiden untuk mengelurkan Perppu. Soal klausul menyangkut kegentingan memaksa, ya itu tafsirnya ada pada subyektifitas Presiden," ujarnya.