REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) meminta polisi bertindak profesional dalam menangani berbagai kasus kekerasan pada masyarakat. Kontras menyayangkan betapa cepatnya polisi memproses dugaan kekerasan, penyekapan dan persekusi pada Ninoy Karundeng. Padahal, masih banyak kasus kekerasan lain yang tak jelas rimbanya.
Kepada Divisi Hukum dan Advokasi Kontras, Arif Nurfikri menyebut kasus dugaan kekerasan pada Ninoy terjadi pada aksi unjuk rasa 30 September. Saat itu, kata dia, tak hanya Ninoy yang menerima tindakan kekerasan.
Menurut Arif, sejumlah mahasiswa, pelajar, wartawan dan tenaga medis juga ikut merasakan tindakan kekerasan. Namun, kasus kekerasan pada mereka tak kunjung diusut polisi.
"Ini jadi ujian bagaimana polisi netral dalam tindak kasus kekerasan. Ada kekerasan ke mahasiswa, harus dilihat juga bukan Ninoy saja," katanya pada Republika, Rabu (9/10).
Ia menyarankan polisi menunjukkan taringnya dalam melindungi segenap warga negara. Bukan hanya sekelompok orang tertentu yang ada afiliasi pada pemerintah seperti Ninoy yang kini mengklaim sebagai relawan Joko Widodo.
"Proses penanganan harus proporsional. Kesannya kok kasus Ninoy digedein, padahal peristiwa 30 September kemarin yang disana banyak peristiwa kekerasan juga," ujarnya.
Ia juga menyoroti kasus kekerasan pada jurnalis saat meliput unjuk rasa 30 September. Ia menyayangkan lambatnya polisi mengusut kasus yang berkaitan dengan personelnya sendiri.
"Bagaimana dengan kekerasan yang dialami jurnalis? Apa karena diduga pelaku dari institusi (polisi) jadi terhambat, beda kalau pelakunya sipil," tegasnya.
"Ini harus jadi catatan polisi, menguji profesionalitasnya bagaimana transparansi dan akuntabilitasnya," tambahnya.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya telah menetapkan 13 orang sebagai tersangka dalam kasus penculikan dan penganiayaan Ninoy Karundeng. Sebanyak 12 tersangka sudah ditahan dan satu orang ditangguhkan penahanannya karena alasan kesehatan.