REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra melakukan pelanggaran kode etik. Pelanggaran ini terkait dengan surat suara tercoblos di Malaysia dan kesalahan memasukkan data ke Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) nasional milik KPU.
"Teradu 2 (Ilham Saputra) dalam perkara nomor 96 dan perkara nomor 99 terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggaraan pemilu," ujar anggota DKPP Ida Budhiyanti dalam persidangan di Kantor DKPP, Jakarta Pusat, Rabu (9/10).
Ida menjelaskan, DKPP menilai, kesalahan memasukkan data dalam Situng KPU tidak bermasalah karena Situng bukan merupakan hasil final rekapitulasi pemilu. Tapi, keakuratan input data dalam Situng menjadi kewajiban etik bagi para penyelenggara pemilu. Sebab, DKPP menilai, perlu adanya pelayanan dan sajian informasi terhadap masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari prasangka yang dapat mereduksi kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu.
"Namun, menurut DKPP, keakuratan input data sesuai dengan pindai salinan C1 yang berbasis pada TI (teknologi informasi) merupakan kewajiban etik para teradu," kata Ida.
Sementara, terkait surat suara tercoblos, Ilham dinyatakan bersalah karena pernyataan Ilham yang menyebut surat suara tersebut merupakan sampah. Menurut DKPP, pernyataan Ilham tidak sesuai dengan kode etik penyelenggara pemilu. "Pernyataan dianggap sampah, menurut DKPP, merupakan pemilihan diksi yang tidak tepat secara etik oleh penyelenggara pemilu di tengah kontestasi yang sedang memanas,” tutur Ida.
DKPP menilai, dalam kondisi demikian, sepatutnya teradu dua menggunakan diksi yang lebih bermartabat, meyakinkan, dan bijaksana yang dapat mendinginkan suasana dan mereduksi prasangka prasangka terhadap ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Ilham dinyatakan melanggar peraturan DKPP terkait kode etik penyelenggara pemilu. Ilham juga dikenakan sanksi berupa teguran dari DKPP.
"Berdasarkan hal tersebut, sepanjang pernyataan tercoblos tidak dapat di pertanggungjawabkan dianggap sampah, melanggar Pasal 12 huruf a dan b Peraturan DKPP Nomor 2 tahun 2017 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu," ujar Ida.
Sementara itu, Ilham Saputra mengaku, menerima putusan DKPP sebagai bahan evaluasi untuk bekerja lebih berhati-hati. Menurut dia, putusan DKPP hanya memberikan peringatan kepada dirinya dan tidak ada rekomendasi untuk pencopotan jabatan di KPU RI.
"Cuma peringatan doang kan, bukan peringatan keras dan tidak ada rekomendasi untuk penggantian karena penggantian divisi, sekali lagi saya sampaikan, itu bisa dilakukan KPU kapan saja di internal KPU," jelas Ilham kepada wartawan usai persidangan.
Sebelumnya, pada 14 April 2019 lalu Komisioner KPU RI Ilham Saputra menyatakan, surat suara yang diduga tercoblos di Selangor, Malaysia, sudah dianggap sebagai sampah. Alasannya, belum bisa dipastikan keasliannya mengingat KPU tidak diberikan akses oleh polisi setempat untuk memeriksa temuan surat suara itu. "Kami tidak menghitung yang (surat suara) ditemukan itu, dianggap sampah saja," kata Ilham Saputra, saat itu.
Tidak dihitungnya surat suara yang diduga tercoblos itu, lanjut dia, tidak akan memengaruhi ketersediaan surat suara, khususnya untuk metode pemungutan lewat pos. Pernyataan tersebut kemudian dilaporkan ke DKPP dengan nomor perkara 96-PKE-DKPP/V/2019 dan 99-PKE-DKPP/V/2019. Pengadu menganggap teradu tidak mengambil tindakan terhadap kecurangan ataupun pelanggaran yang terjadi di Malaysia. N mimi kartika, ed: agus raharjo