REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Nawir Arsyad Akbar
Fraksi-fraksi di MPR RI belum bersepakat soal wacana amandemen UUD 1945 yang menjadi rekomendasi MPR pada periode sebelumnya. Tiap fraksi masih memiliki pandangan yang berbeda-beda soal amandemen terbatas.
Anggota Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay menyebut, ada sejumlah poin yang perlu dipertimbangkan oleh MPR periode 2019-2024 dari hasil rekomendasi periode sebelumnya yang dipimpin Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Jika rekomendasi itu hendak dilanjutkan, maka akan memerlukan amandemen UUD RI 1945.
“Isu yang dikembangkan sekarang adalah akan dibukanya amandemen terbatas atas UUD 1945. Namun, masing-masing fraksi belum sepakat terkait batasan amandemen terbatas yang diinginkan," ujar Saleh Daulay, Kamis (10/10).
Poin yang menjadi rekomendasi yajni yakni pentingnya pokok-pokok Haluan Negara; Penataan Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Penataan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah; Penataan Sistem Presidensial; Penataan Kekuasaan Kehakiman; Penataan Sistem Hukum dan Peraturan Perundang-undangan; Pelaksanaan pemasyarakatan empat pilar dan Ketetapan MPR.
Menurut Saleh, jika mengikuti semua rekomendasi MPR periode 2014-2019 yang lalu, maka amandemen tersebut berimplikasi sangat luas. Bahkan, imbasnya pada sistem ketatanegaraan kita yang ada saat ini.
“PAN menilai bahwa pada titik tertentu memang diperlukan amandemen. Tetapi, kami tidak mau amandemen itu justru melebar kemana-mana dan tidak terkendali. Saat ini, kami sedang fokus menginventarisir poin-poin yang dinilai penting untuk dibuka," ujar dia.
Wakil Ketua MPR RI dari fraksi PDI Perjuangan Ahmad Basarah menyatakan, sikap PDIP terkait amandemen hanya menekankan soal penetapan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Amandemen itu tak menyentuh soal mekanisme pemilihan Presiden.
"Sikap PDIP sudah sangat jelas, yang diubah hanya pasal 3 UUD yang menyangkut wewenang MPR, yaitu menambah wewenang menetapkan GBHN. Pasal 6a mengenai tata cara pemilihan presiden tidak kami sentuh, pasal 7a mengenai tata cara pemberhentian presiden juga tidak kami sentuh," ujar Basarah saat dikonfirmasi, Kamis (10/10).
Basarah pun memastikan, amandemen tidak ada kaitannya dengan pemilihan presiden, atau bahkan pemberhentian presiden. Karena menurut Basarah, dua pasal itu tidak diubah.
"Menghadirkan haluan negara menurut pandangan politik PDIP tidak harus menjadikan presiden dipilih lagi oleh MPR," kata dia.
Hadirnya haluan negara, kata Basarah, juga tidak berarti membuat presiden dapat dimakzulkan ketika tidak menjalankan haluan negara ini. "Karena kedua pasal itu tidak kami sentuh. itu sikap resmi PDIP," ucap Basarah.
Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Gerindra, Ahmad Muzani juga menyatakan, yang ditekankan memang lebih terkait pada penerapan kembali GBHN. MPR sudah membentuk badan pengkajian yang merekomendasikan hanya pada GBHN.
Namun, diakui Muzani, partai politik juga berbicara soal mekanisme pemilihan presiden. "Sementara banyak partai politik juga hanya membatasi disitu, yang paling pokok kan dua (bahasan), pertama presiden dipilih MPR yang kedua pembatasan periode presiden," ujar dia.
Wakil Ketua MPR RI dari PKS Hidayat Nurwahid menyatakan, PKS akan ikut mengkaji melalui Badan Pengkajian amandemen UUD 1945 yang telah dibentuk MPR RI. Meskipun, MPR PKS sempat menunjukkan resistensi.
"Jadi kami akan ikut mengkaji. Bagaimana hasilnya, tentu tidak bisa diputuskan sekarang. Karena amendemen itu sangat terkait juga dengan suasana politik yang terjadi," ujar dia.
Bertemu Megawati
Pimpinan MPR sore ini menemui Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri. Tujuan pertemuan itu untuk menyerahkan secara langsung undangan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di Gedung DPR/MPR, pada 20 Oktober mendatang.
"Ini agenda pertemuan pimpinan MPR yang akan dipimpin oleh Ketua MPR dengan Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai presiden RI ke-5 dan Ketua umum PDIP. Kita juga akan mengundang beliau dalam pelantikan presiden dan wakil presiden nanti pada tanggal 20 Oktober," ujar Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Gerindra, Ahmad Muzani di kediaman Megawati, di Menteng, Jakarta, Kamis (10/10).
Selain menyerahkan undangan pelantikan, para pimpinan MPR juga meminta masukan kepada Megawati terkait amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Sebab, Megawati dinilai sebagai salah satu sosok yang berpengalaman dalam bernegara.
"Kami juga ingin dengar dari ibu sendiri, kira-kira bagaimana pikiran-pikirannya mengenai amendemen UUD yang ada sekarang," ujar Wakil Ketua MPR dari DPD Fadel Muhammad.
Rencananya, pimpinan MPR juga akan menemui pimpinan partai politik lainnya. Selain pimpinan parpol, pimpinan MPR akan bertemu dengan Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Wakil Presiden terpilih Ma'ruf Amin, serta kandidat capres-cawapres pada Pilpres 2019, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Ketua MPR Bambang Soesatyo sebelumnya, menegaskan, pimpinan MPR periode 2019-2024 akan menindaklanjuti rekomendasi MPR periode 2014-2019 terkait amandemen UUD 1945, melalui proses dan tahapan-tahapan yang jelas dan terukur, transparan dan melibatkan partisipasi publik secara luas. Untuk itu MPR membuka ruang seluas-luasnya dan menyerap seluruh aspirasi yang ada dan berkembang di masyarakat.
“Pimpinan MPR akan segera membentuk susunan pimpinan dan anggota Badan Pengkajian MPR yang telah disahkan pada Sidang Paripurna 3 Oktober lalu. Pimpinan MPR akan menugaskan Badan Pengkajian MPR untuk menyamakan persepsi di antara fraksi-fraksi yang ada dan kelompok DPD di MPR terhadap wacana amendemen terbatas UUD NRI Tahun 1945 dan melakukan pengkajian secermat mungkin,” kata Bamsoet usai rapat perdana Pimpinan MPR di Gedung Nusantara III, Lantai 9, Kompleks Parlemen Jakarta, Rabu (9/10), seperti dalam siaran persnya.