Senin 14 Oct 2019 07:01 WIB

PPIAI: Ranitidin Obat Keras, Harusnya Hanya Ada di Apotek

Ranitidin hanya ditarik dari perederan, namun belum dicabut izin edarnya.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito (tengah) didampingi Ketum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) Nurul Falah (kiri), dan Ketua Bidang Advokasi Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) dr Prasetyo Widhi Buwono (kanan) memberikan keterangan pers terkait hasil pengujian terhadap cemaran N-Nitrosodimethylamine (NDMA) dalam produk obat yang mengandung Ranitidin, di Kantor BPOM, Jakarta, Jumat (11/10/2019).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito (tengah) didampingi Ketum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) Nurul Falah (kiri), dan Ketua Bidang Advokasi Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) dr Prasetyo Widhi Buwono (kanan) memberikan keterangan pers terkait hasil pengujian terhadap cemaran N-Nitrosodimethylamine (NDMA) dalam produk obat yang mengandung Ranitidin, di Kantor BPOM, Jakarta, Jumat (11/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) Nurul Falah Eddy Pariang mengatakan, produk farmasi mengandung Ranitidin seharusnya hanya ada di apotek karena tergolong obat keras. "Obat dengan Ranitidin ini obat keras seharusnya tidak ada di toko obat, hanya di apotek," kata Nurul saat dihubungi dari Jakarta, Ahad (13/10).

Dia mengatakan, apotek kini berangsur sudah menarik obat mengandung Ranitidin yang biasa digunakan untuk mengobati sakit tukak lambung dan tukak usus. Penarikan, kata dia, dilakukan sesuai surat edaran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang menarik secara sementara produk mengandung Ranitidin. Penarikan dilakukan untuk uji laboratorium secara mendalam menilik adanya temuan cemaran N-Nitrosodimethylamine (NDMA) pada Ranitidin.

Baca Juga

Nurul mengatakan, begitu BPOM mengeluarkan surat edaran soal penarikan obat mengandung Ranitidin kemudian direspon pengelola apotek menghentikan peredaran produk terkait. "Biasanya BPOM nulis ke industri, industri ke distribusinya, distribusi ke pelayanan apotek di rumah sakit, puskesmas, klinik dengan layanan kefarmasian. Kemudian bagi yang memiliki produk dengan Ranitidin dikembalikan," kata dia.

Bagi apotek, biasanya mendapatkan kompensasi dari produsen dengan kredit nota yang diperhitungkan dengan produk lain. "Ini kan ada harganya. Itu mekanisme yang biasa sudah paham," katanya.

Nurul mengatakan, obat dengan Ranitidin saat ini statusnya belum dilarang tetapi ditarik secara sementara. "Kepada aparat ini adalah obat legal sampai BPOM mengumumkan obat dengan Ranitidin dicabut izin edarnya karena masih dalam penelitian selanjutnya," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement