REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Kematian seorang mantan penyanyi dan aktris Korea Selatan (Korsel) Sulli akibat bunuh diri telah mengungkap sisi gelap industri global hiburan Korsel. Sulli diduga meninggal bunuh diri karena tak tahan dengan cyberbullying.
Rekan-rekan dan para ahli mengatakan, kematian Sulli mengungkap rentetan komentar daring jahat yang dihadapi para seniman muda Korsel di mata publik.
"Dia bukan hanya pembuat isu, tetapi saya berharap dia akan dikenang sebagai aktivis hak-hak perempuan yang berjiwa bebas, yang benar-benar bisa mengutarakan pikirannya," kata penyanyi dan pelukis Korsel Kwon Ji-an seperti dikutip dari laman Channel News Asia.
Penampilan terakhir Sulli di depan khalayak umum adalah di sebuah program televisi. Ketika itu bintang-bintang K-Pop berbicara tentang pengalaman mereka mendapat unggahan daring yang jahat.
Sebelum kematiannya pada Senin (15/10) di usia 25 tahun, Sulli yang memiliki nama asli Choi Jin-ri selalu berbicara menentang penindasan di dunia maya. Polisi mengatakan Sulli mengalami depresi berat.
Kwon (35) yang lebih dikenal dengan nama panggung Solbi juga pernah menjadi sasaran penghinaan dunia maya pada 2009 lalu ketika ia masih menjadi anggota kelompok K-pop Typhoon yang viral karena video seks. Meski telah diidentifkasi tuduhan itu keliru, Kwon mengaku mengalami depresi hebat, fobia sosial, dan gangguan panik.
Kemudian Kwon mencari terapi dan belajar melukis yang bertujuan sebagai upaya bertahan hidup dan akhirnya menjadi kariernya yang lain. "Saya masih terlalu muda dan belum matang secara sosial untuk mencerna semua keglamoran dna perubahan di lingkungan dan tidak ada mengobati sendiri. Bagaimana kamu menanggapi semua komentar dalam jaringan yang kejam itu?" ujarnya.
Ia menambahkan, jika dijelaskan, mereka akan mengabaikannya dan menganggap itu alasan. Sebaliknya jika bertarung melawannya maka warganet akan semakin membenci.
Di Korsel, portal website lokal seperti Naver dan Daum adalah saluran utama konsumsi berita yang memungkinkan penggunanya meninggalkan komentar tanpa menulis atau mengungkap nama asli mereka. Setelah kematian Sulli, para penggemarnya berbondong-bondong ke situs website Presiden Blue House untuk mengajukan petisi yang mendesak penerapan sistem komputer menggunakan nama asli.
Rancangan peraturan mengenai ini tertunda bertahun-tahun di parlemen di tengah perdebatan. Sebuah jajak pendapat oleh perusahaan survei Realmeter yang dirilis Rabu (16/10) menunjukkan 70 persen warga Korsel mendukung skema rencana itu, sedangkan 24 persen sisanya menentang.
"Kebebasan berekspresi adalah nilai vital dalam masyarakat demokratis, tetapi menghina dan melukai martabat orang lain melebihi batas itu," ujar profesor psikologi di Universitas Yonsei di Seoul Lee Dong-gwi.
Ia meminta perlu adanya hukuman yang jauh lebih keras untuk mereka. Data polisi menunjukkan jumlah kasus pencemaran nama baik atau penghinaan dunia maya hampir dua kali lipat dari 2014-2018.
Sementara itu sebuah asosiasi perusahaan manajemen hiburan Korsel mengeluarkan pernyataan pada Rabu (16/10) dan bersumpah umyuk mengejar adanya tindakan hukum tegas untuk pelaku kekerasan verbal secara daring.
Kwon sekarang telah menemukan kedamaian, sebagian karena kegiatannya melukis. Ketika merilis sebuah single baru pada 2017 lalu, Kwon bahkan berusaha untuk mengungkapkan penderitaanya dengan menyiram dirinya dengan cat hitam di atas panggung.
"Aku mendapatkan perawatan karena putus asa depresi. Aku tidak terluka lagi meskipun aku melihat komentar daring jahat itu tetapi sekarang saatnya untuk membahasnya sebagai isu sosial yang serius," ujanya, dikutip dari Reuters.