Senin 28 Oct 2019 17:39 WIB

RS Sardjito Melayani dengan Pendekatan Kearifan Lokal

Alunan musik Jawa diperdengarkan tiap hari pukul 09.00 hingga 11.00 WIB.

Rep: my28/ Red: Fernan Rahadi
Rumah Sakit Dr Sardjito
Foto: KRJOGJA.COM
Rumah Sakit Dr Sardjito

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Biasanya, para pengunjung maupun pasien sebuah rumah sakit cenderung merasa takut, bosan, dan asing saat berada di lingkungan rumah sakit. RSUP Dr Sardjito Yogyakarta memberikan bentuk pendekatan lain untuk menghadapi persoalan tersebut. Salah satunya dengan menggunakan alunan musik jawa dari siter dan gendhing di lingkungan RS, sejak Pukul 09.00 sampai dengan 11.00 WIB setiap harinya guna memberikan kenyamanan bagi para pasien dan pengunjung. 

Kepala Bagian Hukum dan Humas Bagian RSUP Sardjito, Banu Hermawan, mengungkapkan sejak awal Januari 2019 dengan adanya pendekatan kearifan lokal seperti musik beberapa anak terapi autis merasa tergugah dan ikut serta mengikuti alunan musik.  Pada tahapan ini, terjadi peningkatan motorik terhadap anak yang bersangkutan. 

“Hal inilah yang membuat RSUP DR Sardjito meneruskan pelaksanaan pendekatan kearifan lokal tersebut salah satunya melalui musik tradisional  secara langsung atau melalui pengeras suara RS," ungkap Banu kepada Republika dalam penyelenggaraan kegiatan seminar kesehatan dengan tema 'Spiritualitas Jawa dalam Menjaga Kesehatan Rumah Sakit Berbudaya' di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, Senin (28/10).  Rangkaian kegiatan acara tersebut turut menampilkan budaya batik, panah, dan sejenisnya. 

Direktur RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, Darwito menuturkan perlunya sebuah rumah sakit meletakkan bentuk kearifan lokal yakni budaya dalam pelayanan yang dilakukan terhadap pasien maupun pengunjung.  “Seperti sopan santun, ramah, luwes yang merupakan bagian budaya itu sendiri," ungkap Darwito.

Sebagai wujud pendekatan kearifan lokal tersebut, RSUP Dr Sardjito menyelenggarakan seminar yang didalamnya memberikan tampilan budaya berupa keris dimana terdapat 150 keris yang ditampilkan.  Darwito menjelaskan tidak jarang masyarakat memandang keris sebagai sesuatu hal yang mistis, atau merupakan simbol kemusyrikan.

Padahal, keris memiliki seni dan filosofi yang sangat baik jika diterapkan dalam kehidupan. "Dengan mempelajarinya, bagi karyawan diharapkan menjadi sebuah spirit baru dan hikmah dari falsafah keris yang ada”, ungkap Darwito.

Dia menjelaskan, jika budaya artefak layaknya keris  tidak dilestarikan, maka akan hilang ditelan zaman. Oleh karena itu, perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Praktik dengan pendekatan budaya ini dibutuhkan oleh RS sebab terkadang para pasien yang dirawat merasa asing dengan lingkungan RS.

Ia juga menerangkan bahwa masyarakat yang mencintai budayanya  adalah cerminan pribadi yang nasionalis. “Sebab, budaya adalah pilar nasionalisme. Jika budaya tersebut dipraktikkan dalam pelayanan RS akan membikin RS lebih melayani dengan baik,” katanya.  

Sejalan dengan hal tersebut, Dewan Pengawas Sardjito, Supriyantoro, mengungkapkan sangat mengapresiasi pelaksanaan kegiatan tersebut sebagai karakteristik yang perlu dilestarikan dalam mekanisme pelayanan di RSUP Sardjito. “Makna keris secara filosofis akan menumbuhkan budaya pelayanan dari semua unsur, sehingga menjadikan pasien tersebut betah dan bertempat tinggal di RS seperti kediamannya sendiri ” tutur Supriyantoro. 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement