REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang mempersiapkan aturan penerapan jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Perda ERP untuk wilayah Jakarta ditargetkan masuk dalam program legislasi daerah (Prolegda) tahun depan.
Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan aturan hukum penerapan ERP khusus di jalan Jakarta sedang disiapkan. Diharapkan semuanya tahun depan berjalan dengan baik, sehingga tahun depan pelaksanaan lelang sekaligus proses pembangunan dan operasional bisa berjalan.
"Kita harapkan paling lambat 2021 (sudah diterapkan) sesuai dengan Ingub 66. Karena itu sekarang sedang dalam proses naskah akademisnya, belom proses verbal. Tahun depan baru program legislasi daerah ke DPRD," kata Syafrin kepada wartawan, Selasa (19/11).
Terkait proses lelang tender yang sempat berjalan dan tanpa ada pemenang tender. Syafrin menjelaskan tender ERP tahun ini diulang sesuai rekomendasi Kejaksaan Agung (Kejagung). Selain meminta lelang diulang Kejagung juga meminta dilakukan review terhadap seluruh dokumen lelang ERP. Diharapkan, review tersebut selesai dilakukan tahun ini.
“Kita lakukan review terhadap dokumen yang ada. Sedang kita review. Kemudian kita harapkan tahun depan tender bisa dilakukan," imbuhnya. Namun ia memastikan semua proses itu tentu dengan regulasi di atasnya ada PP 32 ada PP 37 untuk jalan berbayar itu ada retribusi.
Terkait ruas jalan di Jakarta yang akan diterapkan ERP, Syafrin memaparkan seluruh ruas jalan protokol sudah layak ERP, sesuai PP 32 tahun 2012, ditinjau dari empat aspek, kecepatan, visio rasio, dilayani angkutan umum, lingkungan. Sedangkan beberapa ruas jalan nasional penghubunga Jakarta, ia menyebut lewenangan penerapan ERP-nya ada pada Badan Pengelola Transportasi Jakarta (BPTJ).
Pengamat Transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia, Djoko Setijawarno menilai ERP atau jalan berbayar mampu mengurangi kemacetan sangat signifikan di beberapa wilayah di Jabodetabek. Namun salah satu syaratnya, menurut dia, penerapan ERP harus juga diterapkan bagi pengguna kendaraan roda dua atau motor.
"Kalau mau ERP efektif di Jabodetabek, motor juga harus kena ERP. Jadi bukan hanya untuk mobil saja, hilangkan pengecualiannya," kata Djoko.
Menurutnya apabila ERP diterapkan di beberapa akses jalan nasional dan provinsi di Jabodetabek, namun tetap mengecualikan sepeda motor, hasil yang didapat kurang signifikan.
Sebab, sambung dia, jumlah pengguna sepeda motor juga cukup banyak. Dan sangat berperan menyumbang kemacetan di beberapa wilayah di Jabodetabek. Apalagi sepeda motor dikecualikan, ia melihat akan ada perpindahan pengguna mobil ke sepeda motor untuk menghindari ERP. "Karena itu harusnya ERP berlaku untuk sepeda motor juga," imbuhnya.
Djoko mengatakan ERP merupakan sistem berkeadilan untuk menghindari kemacetan di Jabodetabek. Pengguna kendaraan yang akan melewati jalan tertentu akan dikenakan bayaran, dan bila tidak ingin membayar maka jangan melewati jalan tersebut. Karena itu Djoko yakin ERP ini akan mampu mengatasi kemacetan, dengan catatan berlaku untuk semua.
Ia juga memberi catatan kepada pemerintah kota penyangga Jakarta untuk menyediakan transportasi massal yang layak dan nyaman bagi warga. Sehingga penerapan ERP akan efektif dan sinergi dengan perpindahan penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan massal. "Jangan hanya mengandalkan perbaikan transportasi massal di Jakarta saja," imbuhnya.
Kepala BPTJ Bambang Prihartono mengatakan kebijakan apakah sepeda motor dikenakan atau tidak dalam ERP masih dalam pembahasan. Namun, diakui dia, aturan sepeda motor akan tetap dikenakan ERP sudah pernah diusulkan, terutama oleh para penggiat transportasi publik.
Bambang menyebut rencana beberapa jalan yang akan diterapkan ERP pada 2020 mendatang adalah jalan nasional yang berada di Jabodetabek. Di antaranya adalah Jalan Margonda, Depok dan jalan perbatasan Tangerang serta Jalan Kalimalang, Bekasi.
Selain menyusun peta jalan secara lengkap, BPTJ juga mengatakan sedang mengkaji aturan hukum yang saat ini berlaku karena ERP akan dimasukan dalam kategori Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
"Selama ini regulasinya menganut sistem retribusi, regulasinya jadi terpatok jalan daerah, provinsi dan kabupaten. Karena itu regulasinya harus direvisi Peraturan Pemerintahnya," kata Bambang.