REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana Pilkada tak langsung kembali muncul setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut biaya pilkada mahal dan membuat kepala daerah rentan korupsi. Namun, pakar justru menilai parpol sebagai sebab tingginya tarif politik di Indonesia.
Peneliti Senior Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, pernyataan Tito tak seharusnya memunculkan ide pilkada langsung seperti puluhan tahun lalu. Namun, Lucius menilai, sistem perekrutan calon kepala daerah di parpol yang harus dibenahi.
"Orang-orang yang mengusulkan Pilkada tak langsung, lupa bahwa biaya paling besar dikeluarkan saat membeli kursi parpol. Jarang satu calon hanya diusung satu parpol, dia harus 'beli' beberapa parpol," ujar Lucius Karus di kantornya, Matraman, Jakarta, Ahad (25/11).
Lucius menyebut, calon kepala daerah harus memberikan mahar dengan jumlah yang tidak sedikit untuk memperoleh restu parpol. Tak jarang, mahar itu mencapai miliaran. Bahkan, kata Lucius, besaran mahar itu bisa berubah sewaktu waktu.
"Bisa berubah 1 menit, 1 hari, 1 jam. Fluktuatif dan pasti sangat menyedot kantong para calon," ujar Lucius.
Poin biaya besar sebagai kritik mekanisme Pilkada langsung dinilai Lucius tak tepat. Ia menyebut, baik pilkada langsung dan tak langsung sama-sama berpotensi menghadirkan keterlibatan uang dalam proses perekrutan calon kepala daerah oleh Parpol.
Maka itu, lanjut Lucius, tak tepat bila Pilkada langsung harus dihapus dan diganti dengan Pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti puluhan tahun lalu. Lucius menyebut, hal itu sebagai kemunduran demokrasi bila pilkada benar dipilih oleh DPRD.
Lucius pun mengatakan, bukan tidak mungkin Pilkada tak langsung justru menimbulkan biaya yang jauh lebih besar daripada Pilkada langsung. "Bahkan bisa lebih fantastis uang yzng akan dihabiskan jika pemilu diubah tidak langsung karena proses sudah tertutup, andalkan yang punya uang untuk maju, dengan situasi parpol yang makin malas melakukan kaderisasi," ujar dia.
Peneliti Senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay juga menyebut sistem perekrutan parpol menjadi sumber petaka potensi politik uang dalam pilkada. Sejumlah calon kepala daerah, kata dia, lebih memilih 'membeli' dukungan Parpol karena adanya kesempatan yang terbuka untuk melakukan hal tersebut oleh parpol.
"Dugaan saya, peserta yang didukung parpol ingin cara gampangnya, beli suara pemilih, padahal tugas mereka untuk bisa menciptakan pemilihan bersih," ujar eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini.
Hadar mengakui adanya regulasi yang belum ketat terkait penggunaan dana pilkada. Namun, kata dia, solusi pengembalian Pilkada ke DPRD juga bukan solusi yang tepat. Lebih baik, kata dia, mekanisme penggunaan uang diatur lebih ketat dan penegakkan hukum dilaksanakan lebih maksimal.
"Bagaimana pembatasan penggunaan dana pemilihan yzng dikelola peserta ini yang perlu diatasi. Kami tidak setuju kalau dikembalikan ke DPRD, karena konsitusi kedaulatan ada di tangan rakyat," ujar dia.
Ketua Umum PPP Muktamar Jakarta Humphrey Djemat mengakui adanya praktik transaksional dalam penjaringan calon kepala daerah. Hal itu dinilainya sudah menjadi rahasia umum. "Masalah terbesar di parpol, di internal sama (transaksional), tidak ada makan siang yang gratis. Ini menyulitkan," ujar dia.
Maka itu, kata Humphrey, bila harus dilakukan pembenahan, maka yang harus dibenahi adalah parpol, bukan lantas mengganti Pilkda langsung. Justru, kata Humphrey, potensi transaksional akan jauh lebih besar terjadi saat pilkada dilakukan DPRD melalui suatu sistem tertutup yang mengusung kompromi kepentingan partai politik.
"Kalau tidak langsung maka tidak ada ruang terbuka, akuntabilitas dan transparansi tidak ada. Parpol berkuasa dan oligarki. Kalau pilkada langsung, pejabat tersebut ada responsibilitas pada masyarakat," kata Humphrey menegaskan.