REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelas menteri dan lembaga telah menandatangani penerbitan surat keputusan bersama (SKB) terkait radikalisme aparatur sipil negara (ASN). Namun, sejumlah kalangan mempertanyakan penerbitan SKB tersebut lantaran dinilai berpotensi melanggar HAM dan mengekang kebebasan berpendapat ASN.
Wakil Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily meminta pemerintah menjelaskan apa yang dimaksud dengan radikalisme sebelum menerbitkan SKB menteri tersebut. "Harus jelas dulu apa yang dimaksud dengan radikalisme? Apa parameter dan indikatornya seorang ASN itu bisa dinilai radikalis?" kata politikus Partai Golkar tersebut, Senin (25/11).
SKB Penanganan ASN ditandatangani 11 menteri dan lembaga di Hotel Grand Sahid, Jakarta Selatan, Selasa (12/11). Mereka adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo, Mendagri Tito Karnavian, Menkumham Yasonna H Laoly, Menteri Agama Fachrul Razi, Mendikbud Nadiem Makarim, Menkominfo Johnny G Plate, Kepala BIN Budi Gunawaan, Kepala BNPT Suhardi Alius, Kepala BKN Bima Haria Wibisana, Kepala BPIP Hariyono, dan Komisi ASN. Mereka juga meluncurkan portal aduan ASN di laman aduasn.id.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menyebut, ada dua kebijakan pemerintah terkait radikalisme yang dipersoalkan, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 dan SKB. PP Nomor 77 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan terhadap penyidik, penuntut umum, hakim, dan petugas pemasyarakatan dalam menjalankan tugasnya.
Doli mempertanyakan urgensi penerbitan PP dan SKB itu, terutama dialog dengan kelompok masyarakat. Komisi II, kata dia, akan mengundang kementerian untuk membahas PP dan SKB tersebut.
"Intinya kami ingin setiap peraturan itu lahir peraturan yang menyejukkan yang bisa menjaga kondusivitas, tidak kemudian mengundang kontroversi, apalagi di masyarakat," kata Doli.