Sabtu 30 Nov 2019 03:50 WIB

Ada Apa di Balik Jargon Dunia Bebas Asap Rokok?

Pegiat kesehatan meneliti strategi dagang di balik jargon dunia bebas asap rokok.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Reiny Dwinanda
Rokok elektronik. Pegiat kesehatan meneliti strategi dagang di balik jargon dunia bebas asap rokok.
Foto: AP
Rokok elektronik. Pegiat kesehatan meneliti strategi dagang di balik jargon dunia bebas asap rokok.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan, industri rokok trans-nasional berlomba memasarkan produk generasi baru (NGP) yang diklaim lebih aman secara kesehatan. Produk itu ditawarkan untuk mengurangi prevalensi merokok.

NGP diperlakukan sebagai rokok alternatif bagi yang belum bisa berhenti merokok demi mengurangi bahaya rokok. Benarkah seperti itu?

Baca Juga

Widyastuti Soerojo dari Badan Khusus Pengendalian Tembakau, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menjelaskan, ada sesuatu di balik istilah smoke free, rokok alternatif, produk lebih aman, membantu perokok berhenti merokok. Menurutnya, itu adalah bagian dari promosi komersial untuk menjual produk adiktif ganda.

"Harm reduction bukan berarti bebas bahaya dan bukan solusi masalah merokok," ujarnya dalam acara press briefing Membuka Kedok Jargon “Dunia Bebas Asap Rokok” Lewat Bukti Pendaftaran Merek Industri di Jakarta belum lama ini.

Widyastuti mengatakan, perkembangan pesat dari produk adiktif baru telah menciptakan peluang bisnis bagi industri rokok sebagai siasat untuk mengatasi penurunan penjualan rokok konvensional. Itu terjadi menyusul peningkatan kesadaran kesehatan global.

Menurut Widyastuti, BAT dan Philip Morris International (PMI) menjadi dua pioner industri rokok yang mengembangkan investasi NGP sejak 2013. Tren penurunan prevalensi rokok di negara-negara maju menjadi dalih mengembangkan produk untuk mempercepat orang berhenti merokok.

Sementara itu, pegiat Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Tubagus Haryo telah melakukan penelusuran data pendaftaran merek di Ditjen HAKI. Ia menjelaskan, studi pendaftaran merek tiga industri trans-nasional, yakni PMI, BAT dan JTI, di Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia menunjukkan bahwa selama 2015 sampai 2019, pendaftaran merek rokok konvesional jauh lebih tinggi (78 persen) dibandingkan dengan pendaftaran produk generasi baru (22 persen).

Produk generasi baru termasuk di antaranya rokok elektronik yang terdiri dari ENDS (Electronic Nicotine Delivery Sustem, likuid nikotin yang dipanaskan) and HTP (produk tembakau padat yang dipanaskan). Menurut Tubagus, kondisi di Indonesia tidak berbeda.

Tubagus mengungkapkan, dari 57 pendaftaran merek selama tahun 2015-2019, 41 di antaranya adalah rokok konvensional, 10 ENDS, dan 6 HTP. Ia menjelaskan bahwa hasil analisis pendaftaran merek membuktikan industri produk tembakau tetap akan memproduksi dan menjual produk konvensional mereka berupa rokok dalam waktu yang cukup panjang, walaupun ada inovasi berupa produk tembakau alternatif.

"Khusus untuk Indonesia, perlu lebih diwaspadai kehadiran produk tembakau alternatif bukan saja dari tiga perushaan besar tersebut, tapi dari Cina dengan harga lebih murah,” ujar Tubagus.

Lebih lanjut, Widyastuti mengatakan, studi pendaftaran merek membuktikan bahwa industri rokok sesungguhnya tidak berniat untuk menghentikan penjualan rokok konvensional. Produk Generasi Baru merupakan pengembangan usaha untuk meraup keuntungan lebih besar, bukan smoke free untuk melindungi kesehatan.

Pemerintah, menurut Widyastuti, hendaknya tidak ikut termakan promosi yang mengorbankan rakyat menjadi konsumen adiktif ganda. Ia pun menyerukan agar pemerintah segera mengeluarkan aturan larangan produk adiktif Generasi Baru.

"Kalau betul industri rokok berniat munuju masa depan bebas rokok, setop mengadiksi, setop iklan, promosi, dan penjualan rokok," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement