REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pesantren Guru Marzuki salah satu yang tertua di Jakarta. Bangunan fisik pondok pesantren Guru Marzuki di Kampung Muara, Jakarta Timur, pada masa itu hanya terdiri atas empat bangunan. Masing-masing terbuat dari bilik bambu yang dikapur putih dengan arsitektur khas Betawi. Dua bangunan besar di antaranya dijadikan sebagai tem pat mengaji dan asrama bagi santri laki-laki.
Adapun dua bangunan yang lebih kecil ukurannya difungsikan sebagai kediaman Guru Marzuki. Selain itu, rumah tersebut juga menggelar pengajian khusus bagi para santri perempuan. Forum keilmuan ini diampu istri sang guru.
Di sana, Guru Marzuki mengajar dan menulis kitab-kitab. Para santri yang belajar kepadanya tidak hanya dari Jakarta atau Jawa, tetapi juga luar Jawa. Masyarakat setempat amat menghormatinya. Dia dianggap sebagai figur teladan yang selalu membimbing dan mengayomi mereka.
Para santri yang mondok terbiasa hidup bersahaja. Misalnya, tidur di atas lantai yang hanya beralaskan tikar rotan; mandi dengan sumber air pancuran; dan sebagainya. Pada waktu itu suasana di lingkungan Cipinang Muara masih marak ditumbuhi pepohonan, alihalih jalanan aspal atau beton bangun an.
Alhasil, para santri sering menanam berbagai pohon yang dapat dipetik buahnya. Selain itu, sungai-sungai pun masih jernih airnya, sehingga kerap dimanfaatkan sebagai sumber air dan tangkapan ikan.
Di luar aktivitas pendidikan, Guru Marzuki juga terlibat aktif dalam organisasi masyarakat (ormas) Islam. Dia tercatat sebagai seorang pendiri Nahdlatul Ulama di Batavia (Jakarta) pada 1928. Hal itu dengan dukungan Habib Ali bin Abdurrahman al- Habsyi alias Habib Ali Kwitang.