Jumat 20 Dec 2019 08:49 WIB

KPK: Omnibus Law Jangan Lindungi Korporasi Curang

Omnibus law jangan menjadi alat untuk menghapuskan ancaman pidana bagi korporasi.

Ketua KPK Agus Rahardjo (ketiga kiri) bersama Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, Saut Situmorang (dari kedua kiri ke kanan) dan Juru Bicara KPK Febri Diansyah (kiri) memeberikan keterangan saat konferensi pers kinerja KPK 2016-2019 di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (17/12).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua KPK Agus Rahardjo (ketiga kiri) bersama Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, Saut Situmorang (dari kedua kiri ke kanan) dan Juru Bicara KPK Febri Diansyah (kiri) memeberikan keterangan saat konferensi pers kinerja KPK 2016-2019 di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (17/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam konsep paket undang-undang (UU) atau omnibus law. Hal ini terkait pemerintah bersama DPR yang memasukkan RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Perpajakan dalam konsep omnibus law.

Komisioner KPK Laode Muhammad Syarif berharap omnibus law yang digagas tak bermaksud melindungi korporasi yang curang dan koruptif dari jeratan hukum. Agar omnibus law ini tidak menjadi alat untuk menghapuskan ancaman pidana bagi korporasi. "Ini sangat penting bagi pemerintah. Supaya jangan sampai omnibus lawi ni tidak dijadikan alat untuk melindungi korporasi," kata Laode di gedung KPK, Kamis (19/12).

Baca Juga

Konsep omnibus lawadalah paket hukum yang diusulkan pemerintah kepada DPR agar membuat beleid yang memudahkan investasi dalam pembangunan perekonomian. Sejumlah omnibus lawyang diusulkan berupa pembuatan UU Cipta Lapangan Kerja dan amendemen UU Perpajakan.

Dua UU tersebut memberikan keleluasaan dan kelonggaran hukum bagi pendirian korporasi. Bahkan, hal tersebut dinilai memberikan keringanan sampai penghapusan pidana bagi korporasi yang melakukan pelanggaran.

Laode meminta agar pemerintah dan dewan memublikasikan hasil dari riset dan naskah akademik terkait omnibus lawagar dapat dikoreksi publik. Pasalnya, konsep pengurangan dan penghapusan hukuman bagi korporasi pelanggar hukum akan menjadi kemerosotan kualitas hukum di Indonesia.

Menurut Laode, perkembangan kejahatan korporasi saat ini sudah mengglobal. Di negara-negara maju, pidana bagi korporasi malah makin gencar, terutama penjeratan pidana bagi korporasi yang disangka terlibat dalam praktik korupsi dan pencucian uang.

Laode mencontohkan Eropa. Korporasi raksasa yang terlibat pencucian uang, korupsi, dan manipulasi perpajakan di sana tetap dikenakan pidana. "Kan seharusnya tetap harus ada pemidanaan itu," ujar Laode.

Saat ini ada sejumlah konsorsium di Eropa yang terkait pengungkapan kasus korupsi di Indonesia seperti Roll-Royce dalam skandal pembelian mesin jet dan pesawat di Garuda Indonesia. Pengungkapan kasus tersebut, kata Laode, dilakukan di Indonesia.

Namun, perusahaan raksasa pembuat mesin jet dan pesawat terbang tersebut juga ikut mendapatkan sanksi hukum di Amerika. "Jadi, saya pikir, pemerintah harus hati-hati dalam pembuatan omnibus lawini," kata dia.

Laode pun menyindir pemerintah yang memilih menghapus hukuman pidana terhadap korporasi yang membangkangi hukum, tetapi di sisi lain membiarkan masyarakat menjadi korban kejahatan korporasi. "Jadi, jangan kita membuat hukum kita kembali seperti ke zaman kolonial. Kita sudah milenial, masa harus kembali lagi ke kolonial," ujar dia.

photo
Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly.

Tak terkait pidana

Menanggapi hal itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly menepis UU omnibus law yang diusulkan pemerintah akan menghapus pidana bagi korporasi. "Enggak, enggak ada urusannya itu. Mereka (KPK) belum baca saja kok. Belum baca, saya kira. Kita saja belum (bahas) ini kok," ujar Yasonna di Kantor Wakil Presiden.

Menurut Yasonna, UU itu mengatur kemudahan dalam proses ad ministrasi, mulai dari perizinan hingga bisnis dan investasi. Selain itu, omnibus law juga diharapkan menyelesaikan hambatan dalam investasi. "Administrasinya saja. Kejahatan-kejahatan, kesalahan-kesalahan administrasi, yang selama ini ada dipidana, itu bukan kejahatan korporasi yang dilarang," ujar Yasonna.

Dalam omnibus law, kata dia, akan ada paradigma yang diubah terkait sanksi, yakni administrative law. Namun demikian, Yasonna memastikan hal itu tidak akan menghapus kejahatan dalam korporasi.

"Ya kan kita mengharapkan izin-izin yang sifatnya, misalnya, tidak ada izin, dipidana. Kan bukan itu yang dimak sudkan. Jadi, sanksi perdata. Denda. Bukan kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi kan bukan di situ. Itu tindak pidana. Enggak ada urusannya tindak pidana dengan ini (p langgaran administrasi)," kata dia.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengakui masih banyak aturan hukum yang tumpang-tindih. Karena itu, Presiden Joko Widodo, menurut dia, berusaha menyederhanakan regulasi dengan kebijakan omnibus law yang dimulai dari sektor perpajakan dan cipta lapangan kerja.

Dua UU itu akan dipadukan dengan pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). "Di bidang perizinan, ratusan peraturan berbeda-beda akan di-omnibus law, dijadikan satu. Nah, itu di bidang hukum," ujar Mahfud di Hotel Aryaduta, Jakarta, kemarin.

Mahfud juga mengatakan, penegakan hukum di Indonesia masih bermasalah. Menurut dia, rasa keadilan masih sering ditabrak oleh formalitas-formalitas hukum. (bambang noroyono/fauziah mursid/mimi kartika, ed:ilham tirta)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement