REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Diperlukan kerjasama semua pihak untuk memberikan tausiyah (nasehat atau penyadaran) kepada masyarakat akan bahaya (madharat) dari kawin kontrak (nikah mut'ah).
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Miftahul Huda, mengatakan tidak hanya peran dari para tokoh agama, namun keterlibatan semua unsur yang mempunyai tugas dan wewenang untuk berbuat bersama-sama dan berkoordinasi.
"Unsur pemerintah, keamanan, tokoh masyarakat diharapkan bergandengan tangan untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya (madharat) kawin kontrak," kata Miftah, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, di Jakarta, Kamis (26/12).
Dewan Pimpinan MUI sendiri sudah pernah mengeluarkan fatwa tentang haramnya nikah mut'ah pada 11 Oktober 1996 lalu. Dalam fatwa itu dinyatakan, bahwa nikah mut'ah bertentangan dengan tujuan pensyariatan akad nikah, yakni mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan (at-tanasul). Selain itu, nikah mut'ah disebutkan juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pemerintah Indonesia.
Lebih lanjut, Miftah mengatakan mengatakan, nikah kontra dinilai tidak sah karena tidak bertujuan untuk membina keluarga yang sakinah mawaddah dan wa Rahmah.
Bahkan, menurutnya, nikah kontrak lebih hanya untuk pemenuhan hasrat nafsu belaka bagi lelaki, sementara pihak perempuan bertujuan untuk mendapatkan uang. "Boleh dikata ini adalah bentuk prostitusi terselubung yang 'dimaklumi' sebagian masyarakat," ujarnya.
Meski sudah ada fatwa MUI, faktanya kawin kontrak masih berlangsung di beberapa daerah di Indonesia hingga saat ini. Salah satunya, seperti yang diungkap pemerintah daerah Bogor baru-baru ini di lokasi Puncak Cisarua, Bogor.
Dalam hal ini, Miftah menilai penyebab atau pendorong maraknya praktik kawin kontrak karena beberapa hal. Di antaranya, budaya masyarakat yang sudah mengalami pergeseran dan perubahan dari masyarakat yang sangat memegang nilai-nilai luhur, baik yang diajarkan oleh agama maupun yang dicontohkan oleh leluhur.
Dia memandang budaya masyarakat saat ini yang cenderung kebarat-baratan, dan semua dinilai dengan kebendaan. Hal ini, menurutnya, berakibat akan lunturnya nilai dan norma-norma kebaikan dalam hidup.
Di sisi lain, kata dia, pendidikan tidak lagi bertujuan untuk menciptakan manusia yang beriman, bertakwa, dan berbudi luhur. Tetapi, lebih pada bagaimana menghasilkan kekayaan dan lainnya. Selain itu, ia menilai praktik kawin kontrak tidak lepas dari perilaku orang-orang yang tidak bertanggung jawab, baik dari unsur masyarakat (makelar) dan orang tua, maupun dari unsur 'pejabat' yang membantu praktik kawin kontrak.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, mengatakan selain penegakkan hukum yang serius, diperlukan juga pengawasan ketat dari masyarakat.
Dalam hal ini, menurutnya, perlu partisipasi dari masyarakat. Selain itu, mereka juga perlu diberi pemahaman terkait hukum, khususnya dalam pernikahan. "Sama halnya dengan prostitusi dan narkoba. Meski sudah jelas haram dan terlarang secara hukum, tetapi faktanya tetap saja ada praktik prostitusi dan juga peredaran narkoba," ujarnya. (Kiki Sakinah)