Kamis 12 Sep 2024 11:04 WIB

Tesis di Universitas Kuwait Ini Beberkan Dampak Fatal Nikah Mutah di Iran

Islam melarang praktik nikah mutah apapun bentuknya

Menikah. Ilustrasi. Islam melarang praktik nikah mutah apapun bentuknya
Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
Menikah. Ilustrasi. Islam melarang praktik nikah mutah apapun bentuknya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Sebuah tesis yang ditulis Fahd Abdullah Ali Al-Khatlan, berjudul Al-Ahadits wa al-Atsar al-Waridah fi Nikah al-Mut’ah dirayatan wa haditsiyyatan, di Universitas Kuwait, mengungkapkan sejumlah dampak fatal nikah mutah.

Mengutip buku al-Mut’ah az-Zawaj al-Muaqqat Inda as-Syiah karya DR Shahla Hairi, diceritakan bahwa kondisi Iran 1978-1982, bukunya merupakan studi akademis yang didokumentasikan cucu Ayatullah Hairi: Kota Mashhad, di mana praktik nikah mutah adalah hal yang biasa, adalah kota yang paling dekaden secara moral di Asia .

Baca Juga

Dr Shahla Hairi menyebutkan sebuah situasi tentang seorang ulama Syiah yang merupakan seorang pengkhotbah agama “Akhund” (dalam bahasa Persia), yang dia temui secara kebetulan di tempat suci Imam Reza di Mashhad pada musim panas 1978, dan yang bernama (Mullah Hashem).

Dia berkata, “Mullah Hashem tidak merasa malu untuk mengatakan kepada saya bahwa sejak ia pindah ke Mashhad, ia secara diam-diam dan teratur melakukan pernikahan mutah, bahkan mengatakan: “Di desa saya di utara, tidak ada seorang pun yang melakukan pernikahan mutah karena hal itu mendatangkan rasa malu.”

Namun begitu ia tiba di Mashhad, ia mulai mempraktikkan pernikahan mutah. Ia tampak membanggakan pernikahan sementaranya yang banyak, melakukan satu atau dua kali nikah mutah dalam sebulan, tanpa sepengetahuan istrinya.

Namun ketika saya bertanya kepadanya apakah ia bersedia mengizinkan putrinya yang berusia enam belas tahun untuk melakukan pernikahan siri, dengan tegas ia menjawab, “Tidak akan pernah.”

Sementara itu, Majalah Syiah Lebanon (Al-Sharaa) dalam sebuah laporannya pernah menulis bahwa terdapat seperempat juta anak ‘haram’ di Iran akibat nikah mutah.

Mengutip Syekh Muhammad Tsabit al-Masri dalam bukunya (Jaulah Fi Rubu’ asy-Syarq al-Adna) menceritakan kepada kita tentang kunjungannya dan apa yang ia lihat dari dampak Mutah:

“Di Najaf, saya melihat banyak anak-anak yang memakai cincin khusus di telinga mereka, sebuah tanda bahwa mereka adalah keturunan dari pernikahan kesenangan, yang tersebar luas di antara semua orang Syiah, khususnya di Persia. Pada musim haji, jika seorang pengunjung tiba di sebuah hotel, ia bertemu dengan seorang perantara yang menawarkan kepadanya masalah kesenangan dengan bayaran tertentu, dan jika ia menerimanya, pria itu membawakannya sekelompok gadis untuk dipilih, dan kemudian ia pergi bersamanya kepada seorang sarjana untuk membaca formula kontrak pernikahan Gadis tersebut boleh menikah beberapa kali dalam satu malam, dan biasanya sang suami membayar sekitar lima belas piaster per jam, tujuh puluh lima piaster per hari, dan sekitar empat pound per bulan, dan tidak ada rasa malu bagi siapa pun dalam pekerjaan ini karena itu sah, dan sama sekali tidak ada rasa malu pada keturunannya, dan ketika masa pernikahan berakhir, kedua pasangan itu berpisah, dan wanita itu tidak menunggu untuk menikah, tetapi menikah satu hari kemudian.”

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement