REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Politik (Parpol) di Indonesia dinilai masih perlu melakuan berbagai pembenahan agar menjadi parpol modern yang benar-benar menjadi rumah demokrasi. Salah satu yang perlu diperbaiki adalah agar partai tak perlu bergantung pada satu tokoh sentral saja.
"Partai Politik seharusnya tidak boleh membesarkan satu nama. Tidak boleh hanya untuk satu atau dua orang saja," kata Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro dalam sebuah diskusi yang digelar di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (10/1).
Siti Zuhro menilai, selama ini, kebanyakan parpol di Indonesia terlalu bergantung pada satu tokoh sentral. Sebut saja, PDIP dengan Megawati Soekarnoputri, Gerindra dengan Prabowo Subianto, Demokrat dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Nasdem dengan Surya Paloh, dan PAN dengan Amien Rais.
Terlalu bergantungnya parpol terhadap satu tokoh sentral dinilai Zuhro akan membuat parpol kesulitan melakukan regenerasi kader. Dengan keadaan tersebut, kader - kader yang kemampuannya sudah mencapai bahkan melebihi tokoh sentral akan kesulitan untuk berkembang. Seharusnya, kata Siti Zuhro, seluruh kader memiliki peluang yang sama dalam demokrasi.
"Muncul istilah oligarki partai. Dinasti politik. Harusnya ada proses talent pool untuk menempatkan kader, mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif," ujar Siti Zuhro.
Ia juga menyayangkan, selama ini proses pemilihan caketum partai kerap diwarnai aklamasi. Seharusnya, kata Zuhro, partai politik tak perlu alergi dengan kontestasi politik di internal. Sehingga, demokrasi benar - benar diterapkan di dalam dan luar partai.
Selama ini, lanjut Zuhro, parpol belum menjadi rumah demokrasi. Padahal, partai merupakan lembaga penting yang diamanati konstitusi memiliki otoritas menyalurkan kepala daerah, anggota dewan, hingga presiden. "Luar biasa otoritasnya. Dalam keadaan seperti itu, parpol punya pengaruh besar," ujarnya.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan, saat ini memang ada partai di Indonesia yang berkuasa adalah partai yang memiliki tokoh sentral. Namun, kata dia, parpol melakukan kesalahan bila terlalu menggantungkan masa depan terhadap satu saja figur sentral.
"Pernahkan parpol memikirkan apa yang dilakukan setelah figur sentral itu," kata Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini, Jumat (10/1).
Ia pun menilai, figur kunci ini harus didistribusikan ke berbagai tokoh lain. Artinya harus ada berbagai tokoh alternatif dalam sebuah parpol. Sehingga, setelah masa tokoh sentral itu telah usai, parpol tak menjadi kelimpungan bahkan mati.
Untuk menjadikan figur sentral alternatif itu, maka perlu pengkaderan yang baik dari tiap parpol. Parpol juga diminta tak alergi terhadap proses suksesi dari satu pemimpin ke pemimpin lainnya.
"Penting sebagai upaya reenginering sehingga suksesi dalam partai biasa biasa saja. Sehingga dominasi tokoh lama tidak masuk dalam kontestasi. Namun narasi dan gagasan besar dipelihara oleh tokoh kunci tetap dipertahankan tak masalah," ujar dia menambahkan.