REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing menilai kasus suap PAW anggota DPR terpilih, membuat kepercayaan publik terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) semakin lemah. Emrus menilai, KPU perlu membuka diri untuk melakukan perbaikan sistem di internal.
Menurutnya, kredibilitas KPU dianggap berada di titik nadir setelah ditangkapnya Wahyu Setiawan, yang merupakan salah satu komisioner. "Kepercayaan publik kepada KPU sudah di titik nadir, runtuh dan rusak," kata Emrus saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (10/1).
Emrus melanjutkan, kasus suap PAW membuat kredibilitas KPU semakin menurun. Mirisnya, citra yang ditampilkan Wahyu Setiawan selama ini di muka publik terkesan bersih dan kredibel. Wahyu Setiawan sebagai komisioner aktif kala itu juga sempat sesumbar akan mempertanggungjawabkan anggaran triliunan dari negara kepada KPU dengan menjamin adanya proses pemilihan dengan bersih.
Untuk itu menurutnya, KPU harus sesegera mungkin berbenah diri untuk membangun kembali kepercayaan publik yang runtuh. Apalagi Indonesia pada tahun ini akan segera menyelenggarakan Pilkada serentak. Maka, permintaan maaf atau pun sanksi yang ringan kepada pelaku bukanlah hal yang cukup.
"Minta maaf saja enggak cukup," ucaonya.
Dia mengimbau, KPU perlu berani membuka diri dan transparan agar dapat membentuk sistem yang lebih terpercaya. Sistem tersebut dapat dibentuk salah satunya dengan melibatkan pihak akademisi dan kalangan independen yang melakukan audit serta penelitian untuk dijadikan suatu hukum publik KPU.
Audit serta penelitian tersebut, lanjutnya, jangan hanya dijadikan tindakan jangka pendek untuk kepentingan hukum dalam kasus ini semata. Lebih jauh, tindakan itu dilakukan guna membentuk suatu kepentingan akademik yang mampu menciptakan sistem yang lebih transparan.
Sebab sejauh ini, Emrus menilai tak ada suatu pun lembaga atau masyarakat yang bisa menjamin kredibilitas KPU. Sebagaimana diketahui, KPK menduga tindak pidana korupsi yang dilakukan Wahyu Setiawan berawal pada Juli 2019 silam. Di mana salah satu pengurus DPP PDI-P memerintahkan seorang advokat bernama Doni untuk mengajukan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara.
Adapun pengajuan gugatan materi tersebut terkait dengan meninggalnya anggota DPR terpilih dari PDI-P atas nama Nazarudin Kiemas pada Maret 2019. Gugatan ini kemudian dikabulkan Mahkamah Agung (MA) pada 19 Juli 2019 dan menetapkan partai tersebut menjadi penentu suara dalam PAW.
Penetapan MA inilah yang kemudian menjadi dasar kepada KPU untuk menetapkan Hasrun Masiku sebagai pengganti Nazarudin Kiemas. Namun pada 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan caleg PSI-P Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin Kiemas.
Namun dua pekan kemudian, PDI-P kembali mengajukan permohonan fatwa MA pada 23 September 2019 dan mengirimkan dokumen serta fatwa MA kepada Wahyu Setiawan. Wahyu diminta membantu proses penetapan Harun Masiku dan disanggupi dengan kalimat: “Siap, Mainkan!”.
Saat ini KPK tengah mendalami sumber dana atas pemberian suap sebesar Rp 400 juta kepada Wahyu Setiawan. Wahyu juga diduga meminta dana operasional sebesar Rp 900 juta untuk membantu Harun Masiku sebaai anggota DPR RI PAW.
Wahyu bukanlah komisioner KPU yang pertama terjerat kasus korupsi, untuk itu Emrus menilai, perbaikan sistem di KPU benar-benar mendesak untuk dilakukan sesegera mungkin. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga diminta segera menyempurnakan sistem e-KTP sebagai salah satu elemen dasar pemilihan pemimpin masa depan yang lebih efisien.