REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kerajaan Keraton Sejagat dinilai berpotensi menimbulkan konflik antara pengikut dan pemimpinnya. Karenanya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengajak masyarakat khususnya umat Islam bersama-sama meningkatkan sistem peringatan dini aliran keagamaan atau kelompok yang berpotensi membahayakan umat dan bangsa.
Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian (PP) MUI, Rida Hesti Ratnasari mengatakan, munculnya kelompok-kelompok semacam itu biasanya ada tiga motif. Pertama, motif kekuasaan karena ingin dikultuskan sebagai raja dan ratu. Kedua, motif ekonomi karena nanti ada mekanisme ekonomi, misalnya pengikutnya harus membeli atau membayar sesuatu.
Ketiga, motif mengubah negara Indonesia secara totalitas seperti Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Sementara, Kerajaan Keraton Sejakat di dalam ajarannya itu mengangkat isu hari akhir. Artinya hari kebinasaan dan kemusnahan apabila tidak mematuhi perintah raja dan ratu. "Dia mengancam akan terjadi kemusnahan semua entitas yang tidak mematuhi raja dan ratu," kata Rida kepada Republika, Sabtu (18/1).
Ia menyampaikan, Kerajaan Keraton Agung sejagat juga menjanjikan pengikutnya akan mendapatkan uang dolar. Ketika janji tersebut tidak ditepati, sementara pengikutnya sudah membayar, maka berpotensi menimbulkan konflik antara pemimpin dan pengikutnya.
Sebab ketika masuk sebagai anggota Kerajaan Keraton Sejagat ada uang yang harus dibayar untuk seragam dan ada sejumlah uang yang diminta sebagai iuran. Konflik akan terjadi atau sudah terjadi antara pengikut Kerajaan Keraton Sejagat dengan umat beragama di sekitarnya.
"Ketika proses berkumpulnya sekelompok orang ini tidak memperhatikan kepentingan umat beragama di sekitarnya. Misalnya saat azan, perkumpulan ini masih ada kegiatan, yang menurut warga setempat sangat mengganggu," jelasnya.
Rida menyampaikan, masyarakat sekitar juga keberatan dengan keramaian dan eksklusifitas kelompok Kerajaan Keraton Sejagat. Mereka mengganggu berjalannya interaksi masyarakat yang alami. Alaminya masyarakat berinteraksi satu sama lain tidak peduli dengan kelompok mana, tapi kehadiran kelompok Kerajaan Keraton Sejagat itu mengganggu proses bermasyarakat.
Menurut informasi yang diterima Komisi PP MUI, pernikahan antara ratu dan raja Kerajaan Keraton Sejagat juga tidak berdasarkan agama Islam dan aturan negara. Pernikahan mereka sesuai keyakinan yang mereka yakini saja.
Menurut Rida, Kerajaan Keraton Sejagat ada kemiripan dengan pola pembentukan, penyebaran dan kepatuhan anggotanya dengan kelompok seperti Lia Eden dan Ratu Ubur-Ubur. Komisi PP MUI akan mendalami apabila kelompok tersebut menggunakan simbol-simbol Islam, dan menggunakan akidah serta syariah Islam dalam pengembangan ajarannya.
Perlu regulasi
Rida juga mengingatkan pentingnya kehadiran peraturan untuk organisasi tanpa bentuk (OTB). "Sebab kami menemui banyak kelompok keagamaan yang tidak diatur, ini mungkin kekosongan regulasi karena ormas sudah diatur, tapi organisasi tanpa bentuk yang tidak berbadan hukum ada kekosongan pengaturan," ujarnya.
Menurutnya perlu ada regulasi yang memadai. Supaya organisasi tanpa bentuk ini boleh berkembang tapi ada batasannya. Komisi PP MUI juga punya catatan sejumlah kelompok keagamaan sangat beririsan dengan aliran kepercayaan.
"Kita menemukan umat Islam melaksanakan shalat tapi mengikuti kelompok kepercayaan tertentu, kemudian bercampur pokok-pokok ajaran Islamnya," ujarnya.
Rida menegaskan, negeri ini berbasis bangsa beragama. Sebagai bangsa beragama maka penataan harus paripurna, regulasinya harus memadai dan tidak boleh ketinggalan dari inovasi beragama dan keyakinan.
"Ayo kita menatanya, bukan membiarkannya liar, juga bukan mengekangnya, jadi pada penataan kita menyarankan regulasi yang setidaknya dikeluarkan Kementerian Agama karena kaitannya dengan aliran keagamaan, kalau yang irisan kepercayaan tentu saja harus sinkron dengan kebijakan Kemendikbud yang mengatur aliran kepercayaan," ujarnya.