REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana mengatakan 600 orang yang telah bergabung dengan ISIS telah kehilangan kewarganegaraan Indonesiannya. Hikmahanto mengatakan, hal itu berdasarkan Pasal 23 UU Kewarganegaraan huruf d dan f.
Hikmahanto menjelaskan, Huruf (d) menyebutkan kehilangan kewarganegaraan disebabkan karena "masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden". Sementara huruf (f) menyebutkan "secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut".
"Nah istilah 'bagian dari negara asing' itu bisa saja pemberontak yang hendak menggulingkan pemerintah yang sah. Bukankah ISIS pemberontak yang ada di Suriah? Bahkan mereka menggunakan cara-cara teror untuk menggantikan negara Suriah dan Irak," katanya.
Selanjutnya andaikan kewarganegaraan Indonesia selama ini tidak hilang kewarganegaraannya berarti Kemlu atau Perwakilan Indonesia di Suriah akan memberi perlindungan. "Kenyataannya, ini tidak terjadi," ucapnya.
Perlu dipahami sejak awal para WNI yang hendak bergabung dengan ISIS, maka mereka menganggap ISIS sebagai negara mereka. "Oleh karenanya sejak saat itu mereka telah rela melepas kewarganegaraan Indonesianya," ujarnya.
Bahkan, tambah dia, ada dari mereka yang merobek-robek paspor Indonesia yang menjadi simbol bahwa mereka tidak lagi ingin menjadi warga negara Indonesia. Oleh karena itu, wajar bila pemerintah Indonesia tidak memiliki kewajiban lagi untuk melindungi mereka.
"Memang secara teori eks-WNI ini berstatus stateless. Namun kondisi stateless ini tidak berada di Indonesia sehingga pemerintah tidak perlu pusing untuk mewarga-negarakan mereka," tutur Hikmahanto.