REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Status kewarganegaraan warga negara Indonesia (WNI) bekas kombatan ISIS harus diputus lewat proses peradilan. Eks hakim agung dan pakar hukum, Gayus Lumbuun, ini sebagai cerminan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
"Ratas (rapat terbatas) di Istana itu pandangan-pandangan mengenai tanggung jawab, keamanan, itu betul. Namun, ratas hanya memutuskan untuk mencegah sementara mereka masuk, selebihnya serahkan ke pengadilan," kata Gayus saat ditemui usai menghadiri diskusi di Jakarta, Rabu (12/2).
Menurut dia, status kewarganegaraan seorang WNI tidak boleh dicabut secara serta-merta oleh pemerintah, meskipun aturan Undang-Undang memungkinkan adanya sanksi tersebut. Dia menjelaskan undang-undang merupakan aturan legal abstrak (law in abstracto) yang seharusnya dibuat terang atau konkret melalui proses persidangan (law in concreto).
"Ini harus diuji dulu di pengadilan, betul tidak dia bakar paspor. Yang mana dari 600 ini yang bakar paspor. Berapa anak kecil yang dibawa bapaknya ke luar negeri, berapa yang lahir di luar negeri," terang Gayus.
Pemerintah Indonesia pada Selasa (12/2) memutuskan tidak memulangkan lebih dari 600 WNI bekas kombatan ISIS yang saat ini mengungsi di penampungan di Turki dan Suriah. Keputusan itu disepakati lewat rapat kabinet tertutup yang digelar oleh Presiden Joko Widodo bersama sejumlah menteri di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.
Alasan utama pemerintah tidak memulangkan kurang lebih 689 WNI eks kombatan ISIS atau bekas teroris lintas batas (foreign terrorist fighter) karena ingin menjaga keamanan 260 juta warga Indonesia. Terkait alasan itu, Gayus sepakat negara perlu menjamin keamanan warganya.
Namun, ratusan WNI bekas kombatan ISIS juga memiliki hak asasi yang perlu dipenuhi negara, salah satunya hak untuk mendapat proses persidangan yang adil. "Ini semua ada aturan hukumnya. Yang bakar paspor dihukum pencabutan warga negara, dipidana seumur hidup juga boleh, karena mengkhianati negara, tetapi itu hakim yang memutuskan bukan kekuasaan," ujar Gayus menegaskan.