REPUBLIKA.CO.ID, PARIS— Para pemimpin Prancis dan Jerman mengatakan kepada Presiden Turki Tayyip Erdogan bahwa krisis kemanusiaan di Provinsi Idlib, Suriah memerlukan solusi politik dan bahwa ketiganya harus segera bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Presiden Emmanuel Macron beserta Kanselir Jerman Angela Merkel mengungkapkan kekhawatiran mereka atas situasi bencana kemanusiaan, yang dialami warga sipil dan risiko lebih lanjut. Hal demikian merupakan pernyataan kepresidenan Prancis.
PBB pada Jumat (22/2) memperingatkan bahwa pertempuran di Suriah barat laut dapat "berujung pada pertumpahan darah".
Pihaknya juga mendesak kembali gencatan senjata saat Moskow membantah laporan pengungsian massal warga sipil akibat dari ofensif pemerintah Suriah yang didukung Rusia.
Sementara itu, Turki menginginkan Suriah di bawah Bashar al-Assad patuh terhadap gencatan senjata di Provinsi Idlib barat laut. Hal ini disampaikan Menteri Pertahanan Turki, Hulusi Akar, dalam sebuah wawancara dengan CNN Turk dilansir Anadolu Agency, Sabtu (22/2).
Akar juga mengatakan Turki tidak bertujuan untuk berhadapan dengan Rusia karena hal ini tidak mungkin. Pihaknya telah melakukan berbagai upaya mencegah ini terjadi. "Dan kami akan terus melakukannya. Yang terpenting sekarang agar rezim (Suriah) mematuhi gencatan senjata," kata Akar.
Dia menuturkan, Turki telah melanjutkan hubungannya dengan semua pihak dengan cara yang transparan dan berprinsip. Merujuk pada kemungkinan operasi Idlib oleh Turki, Akar mengatakan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memberi perintah dan menetapkan target tentang masalah ini. "Kami telah melakukan perencanaan yang diperlukan. Kami memiliki rencana A, B, dan C kami untuk bertindak ketika diperlukan," tuturnya.
Akar menambahkan, sikap Turki tentang masalah Idlib tidak berubah dan telah memenuhi tanggung jawabnya dalam masalah ini. Turki berharap rekan-rekannya untuk melakukan hal yang sama.
"Masalah yang paling penting adalah memastikan gencatan senjata yang stabil dan menghentikan migrasi, dengan begitu membebaskan masyarakat," ucapnya.
Menurut Akar, ada krisis kemanusiaan di Idlib dan juga masalah militer. Rezim Suriah kata dia telah melanjutkan serangan kejam bahkan di rumah sakit. "Rezim (Suriah) menuding orang yang tinggal di Idlib sebagai teroris. Rezim membunuh semua orang yang menentangnya melalui serangan udara, serangan darat dan bom barel."
"Ini adalah pembantaian. Turki telah berdiri dengan orang-orang yang tidak bersalah sepanjang sejarahnya, dan ini tidak akan berubah. Kami akan mempertahankan keberadaan kami di sana dan berharap semua pihak mematuhi perjanjian Sochi," ujarnya.
Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin mencapai kesepakatan pada 22 Oktober tahun lalu di kota resor Laut Hitam Rusia Sochi di mana kelompok Kurdi akan mundur 30 kilometer selatan dari perbatasan Turki dengan Suriah dalam waktu 150 jam. Pasukan keamanan dari Turki dan Rusia juga akan melakukan patroli bersama di sana.