REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- RUU Omnibus Law Cipta Kerja melahirkan polemik di tengah masyarakat. RUU yang disebut akan menambah lapangan kerja, dan memuluskan iklim investasi justru dianggap bisa berpotensi merusak lingkungan dan melanggar hak-hak buruh.
Civitas akademika Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) pun telah melakukan kajian atas RUU itu. Kajian melibatkan mahasiswa hingga Pakar Hukum Lingkungan dan Hukum Perundang-undangan, Dr Zairin Harahap, dan Pakar Hukum Ketenagakerjaan Prof Ari Hermawan.
Dekan FH UII, Dr Abdul Jamil mengatakan, RUU Cipta Kerja itu memiliki berbagai permasalahan. Dari sisi teknis, pertama pilihan metode Omnibus Law. Sejatinya Omnibus Law merupakan metode dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan yang belum dikenal di Indonesia, yang diklaim pemerintah akan efisien.
"Namun, klaim ini belum tentu benar atau tepat, ini mengingat belum ada data yang diberikan kepada publik terhadap keberhasilan metode Omnibus Law di negara-negara lain," kata Abdul kepada wartawan, Kamis (12/3).
Lalu, kata Abdul, ada ketidaksesuaian antara judul dan isi. Sebab, bila dibaca konsideran RUU Cipta Kerja, maka substansinya memberikan berbagai kemudahan dan perlindungan berinvestasi.
Berbagai kemudahan itu mulai dari bidang perpajakan, amdal dan perizinan, sehingga antara judul dan isi dari RUU tidak sinkron. Lalu, keterbukaan dari legislasi, regulasi, implementasi sampai eksekusi.
Abdul menekankan, dalam proses legislasi RUU Cipta Kerja ini perlu diermati apakah pemangku-pemangku kebijakan atau target group sudah dilibatkan. Fase legislasi ini sangat penting.
"Jika kelompok sasaran tidak dilibatkan, maka tidak akan ada rasa memiliki dan dampaknya nanti undang-undang tersebut tidak dapat berjalan sesuai dengan tujuan pembentukannya," ujar Abdul.
Kemudian, status undang-undang terkait karena RUU ini akan mengubah, menghapus atau menetapkan pengaturan terhadap 79 undang-undang. Kajian temui sekitar 500 pasal yang mendelegasikan ke Peraturan Pemerintah (PP).
"Kuat dugaan hal tersebut akan memberikan kekuasaan legislasi menjadi lebih fleksibel kepada eksekutif (Presiden) melalui PP," kata Abdul.
Lalu, secara substansi, ada kecenderungan sentralisasi karena RUU ini telah menggeser paradigma dalam UUPLH yang memberi kewenangan yang proporsional antara pusat, provinsi, kabupaten, kota dan ditumpahkan ke pemerintah pusat.
Selanjutnya, perlindungan lingkungan karena RUU ini mendefinisikan Amdal cuma sebagai kajian untuk digunakan sebagai pertimbangan. Artinya, tidak menentukan pengambilan keputusan tentang penyelenggaran usaha atau kegiatan. "Hal ini berarti Amdal ditempatkan sebagai pertimbangan, sehingga sifatnya menjadi fakultatif," ujar Abdul.
Soal arah kebijakan investor, RUU Cipta Kerja menggunakan logika masuknya investor akan membuka lapangan pekerjaan. FH UII melihat masuknya investor ke Indonesia tentu bukan tanpa syarat-syarat.
Menurut Abdul, RUU Cipta Kerja sangat menggambarkan betapa negara lemah di depan investor. Sebab, negara dipaksa tunduk terhadap kepentingan investor dengan mereformasi regulasi melalui RUU Cipta Kerja.
"Yang menguntungkan investor di satu pihak, dan merugikan tenaga kerja atau buruh di sisi lain," kata Abdul.
Selanjutnya, RUU ini dinilai potensial merugikan hak-hak pekerja mulai tidak dikenalnya upah minimum, upah sektoral dan upah dalam satuan waktu. RUU ini dinilai pula mengubah sanksi pidana dalam UUPLH jadi sanksi administrasi.
Untuk itu, FH UII menyimpulkan RUU Cipta Kerja memiliki masalah prosedur pembentukan dan substansial yang cukup serius. Kedua, FH UII meminta dan menuntut pemerintah dan DPR tidak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja.
Kemudian, FH UII menegaskan akan tetap konsisten mengawal proses pembahasan RUU Cipta Kerja ini. Jika RUU ini disahkan, FH UII akan menempuh jalan konstitusional untuk menuntut pembatalannya.
"Mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia, terutama kaum muda dan mahasiswa, untuk senantiasa bersama mengawasi kerja legislasi yang saat ini berjalan antara pemerintah dan DPR," ujar Abdul