Senin 16 Mar 2020 09:44 WIB
Corona

Coronavirus, Menteri Belanda, dan Nasib Negara Kita

Coronavirus, Menteri Belanda, dan Pertaruhan Nasib Negara Kita

Evakuasi pasien terpapar virus corona di AS(VOA)
Foto: VOA
Evakuasi pasien terpapar virus corona di AS(VOA)

Oleh: Dr Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

Menteri infrastruktur Belanda,  Cora Van Nieuwenhuizen, seperti diberitakan rtlnews. nl, langsung menyampaikan ke publik mengurung diri di rumah setelah mengetahui Menhub Budi Karya positif Coronavirus, kemarin, 14 Maret 2020.

Rtlnews memberitakan antara lain: "Minister Cora van Nieuwenhuizen (Infrastructuur en Waterstaat) moet in ieder geval tot 24 maart thuis werken. Woensdag had ze een ontmoeting met een Indonesische collega die het virus blijkt te hebben. Eerder vandaag werd gezegd dat ze geen klachten heeft en zich goed voelt."

Meski terlihat baik-baik saja, namun dia akan di rumahnya mengurung diri sampai tanggal 24/3. Tanggal ini tepat dua minggu setelah dia ketemu Menhub Budi Karya di Jakarta, sebagai bagian kerjasama Kerajaan Belanda dengan Indonesia.

Pilihan mengisolasi diri ini adalah untuk nenghindari kontak dengan semua manusia. Sebab, masa inkubasi dua minggu coronavirus tidak bisa disimpulkan dengan test secanggih apapun, seperti yang dipertontonkan presiden dan kabinet pemerintahan Jokowi merespon situasi yang sama.

Di Indonesia, Menhub Budi Karya, yang dinyatakan positif terinfeksi kemarin, seharusnya membuat semua menteri, dirjen, pejabat lainnya dan juga presiden kita mengambil tindakan standar internasional, sebagaimana yang dilakukan menteri infrastruktur Belanda tadi. Jika siapa saja melakukan kontak dalam jarak di bawah dua meter, harus dianggap potensi tertular virus. Namun, kita melihat hal itu tidak terjadi. Para menteri dan Jokowi masih berinteraksi dengan berbagai manusia lain dalam aktifitasnya.

Situasi penanganan pandemik covid-19 ini, terutama sejak WHO dan dunia melakukan berbagao langkah ekstrim, Indonesia masih memperlihatkan ketidak jelasan kordinasi. Jakarta Post beberapa hari lalu sudah memvonis Jokowi amatiran, sedang hari ini cnnindonesianews menuliskan Jokowi harus meminta maaf pada bangsa ini. Faktanya, hari demi hari semua kepala daerah melakukan konprensi pers sendiri-sendiri membuat gugus tugas sendiri, mengumpulkan stok masker sendiri, dan lain-lain.

Ketidakjelasan situasi sampai saat ini terlihat dengan keputusan terkahir Jokowi yang menyerahkan urusan "lack down" atau tidak, hanya melalui pertimbangan kepala daerah. Sedangkan, disisi lain, sebelumnya, kemarin Jokowi membentuk Gugus Tugas, untuk memperkuat kordinasi dan sinergi nasional mengatasi penyebaran virus ini. Seharusnya kedua hal itu bernuansa kontradiktif.

Dalam penjelasan di istana Bogor, tadi, 15/3, sebagaimana dikutip berbagai media, Jokowi meminta pemda menjalin kerjasama intens dengan BNPB dan menggunakan anggaran efisien. Penjelasan ini tidak menunjukkan ketegasan apakah Doni Monardo, apakah sebagai kepala BNPB atau Gugus Tugas, dapat melakukan kordinasi lintas daerah atau hanya sinergi (kerjasama) saja. Sebab, jika misalnya satu daerah  melakukan "lockdown", pertanyaan berikutnya adalah apakah BNPB dapat menutup kota/daerah itu? Ataukah Gugus Tugas yang baru di bentuk yang melakukannya?

Situasi ini menunjukkan adanya kebingungan dari Jokowi dalam merespons situasi. Berbagai negara di dunia sudah melakukan lockdown, sebagian lockdown ataupun menyatakan darurat negara. Darurat negara adalah beda dengan darurat bencana. Darurat negara bersifat nasional. Sedang darurat bencana, bisa bersifat lokal. Nah, Jokowi lebih memilih urusan virus corona ini diselesiakan lokal demi lokal.

Dari penjelasan Jokowi tadi di Istana Bogor, di mana Jokowi menekankan pentingnya menjaga pertumbuhan ekonomi, ada kesan faktor perekonomian kita dipertaruhkan dengan nyawa manusia yang mulai ketakutan dengan coronavirus ini. Padahal, sesungguhnya, ketakutan rakyat kita atas coronavirus sudah dirilis oleh survei YouGov pertengahan Maret lalu, rakyat kita yang paling cemas dibanding negara2 lain di asia.

Keselamatan Manusia Atau Keselamatan Ekonomi

Kita dihadapkan pada pilihan sulit, mau menyelamatkan ekonomi atau mau menyelamatkan manusia, terkait pandemik coronavirus ini. Memang kita tidak menafikkan pentingnya ekonomi terus tumbuh berkembang. Namun, manusia juga butuh keselamatan hidup.

Fakta selama ini, kita bisa lihat kepala2 daerah panik sendiri mengatasi situasi pandemik coronavirus. Rakyat juga ikut panik karena kepastian informasi sulit dipercaya. Coba bayangkan dua hal ini, pertama, mantan karyawan telkom yang wafat di Cianjur, 3/3/2020, awalnya dinyatakan negatif covid-19. Hari ini, setelah 12 hari meninggal, dinyatakan positif coronavirus. Butuh waktu menganulir hasil test awal. Artinya lama dan test tidak begitu canggih. Akibatnya apa? Istri dan anak karyawan itu dinyatakan positif coronavirus. Lalu bagaimama orang-orang yang berhubungan dengan almarhum? Padahal dia sudah berobat ke mana-mana sebelum di RS Cianjur.

Kedua, bagaimana mungkin seorang menteri (Menhub) terkena infeksi coronavirus? Bukankah seharusnya elit-elit negara lebih siap menangkal dirinya terhindar dari virus itu? Tentu saja setinggi pangkat apapun bisa tertular virus corona ini. Namun, bagaimana membayangkan menteri perhubungan yang berkali-kali ke istana, telah di sensor thermal Scanner, bisa membawa virus itu ke istana? Bahkan, bagaimana dia membawa virus itu ke acara Indonesia dan Kerajaan Belanda.

Melihat kasus Menhub Budi Karya dan kasus eks karyawan telkom di Cianjur itu, kita perlu refleksi bahwa fokus kita pada penanganan wabah coronavirus ini belum optimal.

Jika pemaksimalan ikhtiar haru dilakukan dengan fokus, maka pilihan penyelamatan ekonomi vs. penyelamatan nyawa manusia harus dilihat bersifat "trade-off". Kita tidak bisa memilih keduanya. Mungkin ekonomi akan turun dua persen dari target pertumbuhan, namun kita bisa optomalkan penyelamatan manusia.

Penutup

Menyebarkan virus Corona ke Kerajaan Belanda, bisa saja sebuah ketidaksengajaan. Namun, ikhtiar memperbaiki diri bisa menunjukkan rasa penyesalan kepada negara sahabat.

Memperbaiki diri yang dibutuhkan adalah melakukan semua standar internasional pada batas maksimal, bukan batas minimal. Misalnya, pemerintahan Jokowi harus menyatakan "Kabinet Lockdown", sebagaimana ditulis sebuah media di Jakarta kemarin. Artinya, selama dua minggu sejak Menhub Budi Karya dinyatakan positif coronavirus, semua menteri mengkarantina diri atau mengisolasi. Jika jumlah orang-orang yang berhubungan dengan Budi Karya pada hubungan langsung dan tidak langsung sangat banyak, maka, mereka dapat diberikan pinjaman sebuah pulau di Kepulauan Seribu, misalnya. Atau di Pulau Galang, Batam, sebagaimana sudah diputuskan Jokowi tempo hari.

Tulisan cnnindonesianews tentang Jokowi perlu meminta maaf kepada Bangsa Indonesia harus di respons positif. Juga tulisan JakartaPost beberapa hari lalu agar Jokowi jangan amatiran harus direspons perubahan ke arah professional.

Semua ini perlu cepat. Pembentukan Gugus Tugas dan alokasi APBN Rp 1 Triliun sudah sebuah kemajuan. Namun, mengingat ledakan eksponensial jumlah terjangkit virus akan segera datang, maka kita harus mengantisipasi pengendalian stok makanan danminuman, serta obat-obatan, juga masker, agar tidak hilang dipasaran. Memastikan anak-anak sekolah belajar di rumah. Memastikan jumlah pusat karantina cukup dan tersebar se Indonesia. Memastikan perawat dan dokter cukup, dan lainnya.

Tentara, misalnya, harus diberi wewenang menembak mati spekulan-spekulan barang, yang selalu mencari keuntungan dalam kesempitan. Gugus Tugas diberikan kewenangan pasti untuk melakukan kordinasi lintas sektoral dan daerah, bukan seperti sekarang masing-masing kota melakukan gugus tugas sendirian.

Jokowi harus menunjukkan ketegasan maksimum dalam menangani pandemik ini. Tidak perlu ragu memilih, perekonomian lambat vs nyawa rakyat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement