REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk tidak melanjutkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. WP KPK khawatir revisi itu dijadikan kendaraan untuk bebaskan para koruptor.
"Wadah Pegawai KPK menilai terdapat beberapa argumentasi mengapa inisiatif tersebut sangat berbahaya bagi cita pemberantasan korupsi dan harus ditolak," kata Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap dalam pesan singkatnya, Jumat (3/4).
Yudi menuturkan, alasan pertama karena Indonesia saat ini sedang menggelontorkan uang senilai kurang lebih Rp 405 triliun yang akan disalurkan dalam berbagai bentuk untuk mengatasi Covid-19. Hal tersebut bukan terlepas dari potensi adanya penumpang gelap untuk mengambil manfaat melalui korupsi.
"Untuk itu, pesan serius yang memberikan efek deterrence haruslah semakin ditekankan bukan malah dihilangkan," tegasnya.
Termasuk salah satunya diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang menekankan pemberatan sampai hukuman mati bagi pelaku korupsi di tengah bencana. Terlebih, Indonesia telah mengalami potensi korupsi yang justru meningkat disaat krisis.
"Untuk itu, wacana pembebasan koruptor termasuk dengan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan justru pada saat kondisi krisis epidemi Covid 19 merupakan bentuk untuk meringankan bahkan mereduksi deterrence effect dari pemidanaan terhadap koruptor," jelasnya.
Kedua, lanjut Yudi, korupsi merupakan kejahatan yang serius. Untuk itu, penempatan tindak pidana korupsi setara dengan terorisme dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan merupakan bentuk politik hukum negara untuk menempatkan posisi seriusnya kejahatan korupsi.
"Hal tersebut mengingat landasan kuat dilakukannya reformasi adalah karena persoalan korupsi di Republik Indonesia," ucapnya.
Yudi melanjutkan, sebetulnya wacana untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan bukanlah hal baru bahkan telah diwacanakan Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly sejak tahun 2016 dan telah mendapatkan respon penolakan dari publik sehingga ditolak. Untuk itu, jangan sampai epidemic Covid 19 justru malah menjadi momentum yang dimanfaatkan untuk memuluskan rencana tersebut.
"Banyak metode lain yang dapat diterapkan untuk menghindari resiko Covid 19 bagi para terpidana korupsi. Mulai dari adanya pengaturan soal sel sampai dengan kunjungan sehingga seharusnya tidak menjadi alasan," ujarnya.