Jumat 03 Apr 2020 16:59 WIB

Pemerintah Perlu Kaji Penurunan Harga Gas

Penurunan harga gas harus mempertimbangkan pendapatan produsen.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Friska Yolandha
Seorang perajin menghaluskan cangkir keramik yang telah jadi di Sidorejo, Salatiga, Jawa Tengah, Selasa (18/2). DPR mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menerapkan penurunan harga gas menjadi 6 dolar AS per MMBTU. Hal itu mengingat kondisi perekonomian sedang mengalami perlambatan.
Foto: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho
Seorang perajin menghaluskan cangkir keramik yang telah jadi di Sidorejo, Salatiga, Jawa Tengah, Selasa (18/2). DPR mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menerapkan penurunan harga gas menjadi 6 dolar AS per MMBTU. Hal itu mengingat kondisi perekonomian sedang mengalami perlambatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menerapkan penurunan harga gas menjadi 6 dolar AS per MMBTU. Hal itu mengingat kondisi perekonomian sedang mengalami perlambatan.

Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto mengatakan, pelaksanaan kebijakan penurunan harga gas harus mempertimbangkan beberapa aspek, seperti pendapatan produsen minyak dan gas bumi (migas) untuk mendukung investasi kegiatan pencarian migas. Pasalnya, saat ini harga minyak sedang mengalami penurunan.

Baca Juga

Untuk diketahui, sebelumnya untuk menurunkan harga gas menjadi 6 dolar per MMBTU pemerintah akan menurunkan harga gas di hulu berkisar 4 dolar AS-4,5 dolar AS per MMBTU. Selain itu, biaya transportasi dan distribusi diturunkan antara 1 dolar AS-1,5 dolar AS per MMBTU

"Saat ini harga minyak dunia rendah. Jangan sampai kebijakan ini membuat investor hulu migas tidak berniat unt mengembangkan lapangannya. Ke depan kita akan rugi banyak," kata Sugeng, Jumat (3/4).

Sugeng melanjutkan, pemerintah perlu mengvaluasi kebijakan negara secara menyeluruh. Biaya-biaya yang harus ditanggung pelaku usaha migas masuk sebagai pendapatan negara harus dievaluasi lagi, misalnya sewa barang milik negata, pajak dan lain-lain.

Selain itu harus ada evaluasi pemberian subsidi ke hilir, agar membuat industri berkembang dan pada akhirnya memberikan efek pada perkembangan ekonomi dalam negeri. Diharapkan, ini menggantikan penurunan penerimaan negara dari pengurangan bagian negara.

"Jangan ambil kebijakan sepihak dan terkesan memudahkan masalah," tuturnya.

Direktur Executive Energi Watch Mamit Setiawan mengungkapkan, pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM berencana untuk menurunkan biaya transmisi, biaya distribusi dan biaya pemeliharaan yang berpotensi membuat badan usaha menjadi rugi. 

"Selain itu juga, saya kira kebijakan ini akan menghambat badan usaha untuk pembangunan pipa ke depannya," ujarnya.

Untuk itu dia memandang penurunan harga gas industri harus  dipertimbangkan kembali. Pasalnya, akan menghambat investasi pembangunan infrastruktur gas dari sumur hingga konsumen, jika penurunan harga gas membebani industri hilir migas.

"Mereka melakukan investasi yang besar untuk pembangunan tersebut. Belum lagi,pipa transmisi dan pipa distribusi terbut juga harus di maintenance agar tetap bisa berjalan secara optimal. Belum lagi mereka harus membangung terminal regasifikasi LNG dimana sebagai cadangan mereka untuk menjaga ketersediaan gas kepada pelanggan," ungkapnya.

Kebijakan penuruan harga gas dikhawatirkan akan mematikan industri hilir gas. Seharusnya pemerintah juga berusaha untuk melindungin indutri hilir, agar ke depan program bauran energi sebesar 25 persen pada tahun 2023 bisa mencapai targetnya, walau sulit untuk dicapai.

"Selain itu juga, kondisi ini membuat indutri hilir gas tidak menarik lagi untuk investor," ucapnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement