REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Dr Hasanuddin Abdul Fatah menilai fatwa haram terkait perjalanan mudik belum begitu penting. Menurut dia, justru pemerintah dalam kondisi ini berperan mengeluarkan peraturan yang menegaskan larangan melakukan mudik sebagai solusi mencegah penyebaran wabah Covid-19.
"Menurut saya untuk saat ini belum begitu penting fatwa itu. Harusnya tinggal penegakan hukumnya saja. Kalau peraturannya sudah jelas, larangan mudik itu jelas, apakah peraturan presiden atau peraturan pemerintah, itu saja laksanakan. Gak perlu fatwa-fatwaan saya kira," tutur dia kepada Republika.co.id, Jumat (3/4).
Apalagi, lanjut Hasanuddin, hingga saat ini belum ada permintaan melalui surat secara formal ihwal permintaan fatwa haram mudik. Komisi Fatwa MUI pun belum membicarakan soal penyusunan fatwa tersebut. Meski begitu, jika ada permintaan dari masyarakat luas maupun pemerintah soal fatwa mudik, Komisi Fatwa siap melakukan kajian.
"Belum, setahu saya belum (ada permintaan fatwa) sampai saat ini. Kalau ada surat formal, atau ada permintaan dari masyarakat luas atau pemerintah, Komisi Fatwa siap mengeluarkan kalau memang perlu," tuturnya.
Hasan menilai, jika ingin melarang masyarakat di Jakarta untuk mudik, tidak cukup hanya dengan imbauan. Masyarakat yang mengandalkan penghasilan harian di Jakarta akan tetap pulang ke kampungnya. Pemerintah seharusnya memberikan bantuan dana kepada kelompok masyarakat tersebut sebagai bentuk perhatian di tengah pandemi seperti ini.
"Kalau pemerintah tidak memperhatikan ya bagaimana pun saya kira banyak saja yang mudik. Karena mereka itu mudik bukan karena kangen sama keluarga, tapi karena ekonomi. Gak bisa makan mereka di Jakarta atau katakanlah Depok. Itu alasannya. Jadi gak bakalan bisa dibendung kalau alasannya ekonomi. Gak bisa makan mereka di sini karena gak ada kerjaan," imbuhnya.
Terlepas dari hal itu, Hasanuddin mempersilakan untuk melayangkan surat permintaan fatwa kepada pihaknya. Komisi Fatwa siap mengeluarkan fatwa dengan terlebih dulu melihat dari berbagai aspek, baik itu kemaslahatan maupun mudharatnya.
"Tentunya dikaji dulu, dipertimbangkan sejauh mana keperluannya dan kepentingannya sehingga fatwa itu perlu dikeluarkan. Kalau dengan mudik itu menimbulkan semakin merajalelanya penyebaran Covid-19, ya bisa saja (dikeluarkan fatwa). Hal-hal yang tadinya dibolehkan menjadi dilarang dan akan menjadi haram kalau memang menimbulkan mudharat," ungkapnya.