REPUBLIKA.CO.ID, Sebagian orang mengatakan bahwa kebahagiaan itu letaknya pada harta. Akan tetapi yang berpikiran begini adalah orang yang putus asa dalam kemiskinannya. Hendak menjadi kaya namun selalu gagal. Kadang-kadang pendapatnya tak didengar orang lantaran ia miskin. Karena itu diputuskannyalah bahwa bahagia itu pada uang, bukan lainnya. Kaidahnya ini berasal dari hati yang kecewa.
Prof Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih akrab dipanggil, Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar, menjelaskan banyak juga yang tidak menemukan kebahagiaan meskipun ia sudah mencapai maksudnya. Contohnya adalah orang miskin yang mengejar kekayaan, sebab dalam bayangannya, jika kaya ia akan mampu menolong sesama. Akan tetapi, setelah kaya ia malah menjadi sombong dan kikir. Ada negarawan yang ketika menjadi anggota parlemen berjanji akan menolak segala kezalim an, namun setelah jadi Presiden atau Perdana Menteri justru ia sendiri yang menzalimi rakyatnya.
Pada dasarnya mereka yang menilai kebahagiaan dengan materi hanyalah orang-orang yang tertipu, karena segala sesuatu yang ada di dunia ini hanya memiliki harga sesuai kemampuan manusia untuk menghargainya. Buku yang sarat ilmu hanya akan dijual kiloan di pasar loak oleh para penjual yang tak mengerti isinya. Orang yang tak paham bedanya emas dan kuningan akan menjual keduanya dengan harga yang sama.
Manusia juga punya kecenderungan untuk rindu pada sesuatu yang belum ada padanya, sebab segala isi dunia ini indahnya sebelum ada di tangan. Contoh nya Rockefeller, yang sepanjang hidupnya mengejar kekayaan, namun setelah menjadi miliuner, semuanya itu tak lagi berarti. Di usianya yang sudah 97 tahun, ia hanya ingin agar dicukupkan hidupnya menjadi 100 tahun.
Ternyata harta yang banyak itu tak mampu sekadar untuk membeli kekurangan yang tiga tahun, karena pada tahun itu juga ia wafat. Sesuatu yang belum kita miliki sering disangka menjanjikan kebahagiaan, namun manusia kerap kali tidak mampu menghargai apa-apa yang sudah dimilikinya.
Menurut Hamka, Islam mengajarkan pada manusia empat jalan untuk menuju kebahagiaan. Pertama, harus ada i’tiqad, yaitu motivasi yang benarbenar berasal dari dirinya sendiri.
Kedua, yakin, yaitu keyakinan yang kuat akan sesuatu yang sedang dikerjakannya. Ketiga, iman, yaitu yang lebih tinggi dari sekedar keyakinan, sehingga dibuktikan oleh lisan dan perbuatan. Tahap terakhir adalah ad-diin, yaitu penyerahan diri secara total kepada Allah, penghambaan diri yang sempurna. Mereka yang menjalankan ad-diin secara sempurna tidaklah merasa sedih berkepanjangan, lantaran mereka benar-benar yakin akan jalan yang telah Allah pilihkan untuknya.
Ada pula sifat-sifat yang menjauhkan manusia dari kebahagiaan, antara lain adalah takut mati. Pada dasarnya perasaan ini menimpa mereka yang tak tahu mati. Mereka tidak tahu kemana jiwa raganya pergi sesudah mati, atau disangka setelah tubuhnya hancur maka jiwanya pun ikut hancur, sedangkan alam ini kekal dan orang lain terus mengecap nikmat, sementara dirinya tak ada lagi di sana.
Ada juga yang menyangka bahwa kematian itu adalah penyakit yang paling hebat. Akan tetapi semua penyakit ada obatnya, kecuali kematian, karena kematian itu bukanlah penyakit. Sebagian orang memang suka hidup lama tetapi tak suka tua.
Pikiran semacam ini, menurut Hamka, tidaklah waras. Dalam ajaran Islam, kematian adalah belas kasihan Tuhan kepada hambahamba- Nya. Manusia disuruh pergi ke dunia, dan kemudian dipanggil pulang.
Agama menyadarkan kita bahwa kematian itu telah pasti bagi kita, dan karenanya, kita sungguh-sungguh berusaha memperbaiki hidup, agar sesudah hidup itu kita beroleh kematian yang nikmat adanya, yaitu kematian dalam keadaan memperoleh ridha Allah. Orang seringkali membayangkan apa yang akan dijumpainya sesudah mati.
Mereka yang takut mati barangkali sudah menyadari dosanya lebih banyak daripada kebaikannya, sehingga takut kalau harus di-hisab. Tetapi ada pula orang seperti Bilal bin Rabah ra. yang mengatakan dirinya bahagia di saat menghadapi sakaratul mautnya, lantaran dengan kematian itulah ia bisa berkumpul kembali dengan Rasulullah saw. yang sangat ia cintai.
Oleh karena itu, pesan Hamka, jika ingin jadi orang kaya, maka cukupkanlah apa yang ada, peliharalah sifat qanaah, jangan bernafsu mendapatkan kepunyaan orang lain, hiduplah sepenuhnya dalam ketaatan kepada Allah saja. Kekayaan hakiki ialah mencukupkan apa yang ada, baik banyak maupun sedikitnya, sebab ia adalah nikmat dari Allah.
Jika kekayaan melimpah, ingatlah bahwa harta itu untuk menyokong amal dan ibadah. Harta tidak dicintai karena ia harta, melainkan hanya karena ia pemberian Allah, dan ia dipergunakan untuk sesuatu yang bermanfaat. Inilah jiwa yang bahagia!