REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu'ti dan Ahmad Hasan Asy'ari Ulama'i menulis buku Shalat Jumat di Tengah Covid-19. Buku ini diterbitkan Al-Wasat Publishing House pada April 2020.
Mu'ti pun memberi penjelasan mengapa dia dan rekannya menulis buku tentang sholat Jumat. "Saya berikhtiar memberikan panduan dan menjawab keraguan masyarakat mengenai hukum tidak melaksanakan sholatJumat lebih dari tiga kali karena Covid-19," kata dia kepada Republika.co.id, Jumat (17/4).
Menurut Mu'ti, sampai saat ini masih terjadi perdebatan di kalangan umat Islam soal hukum meninggalkan sholat Jumat dan mengganti dengan sholat zhuhur.
Ketentuan hukum dari hadits Nabi Muhammad SAW memang sudah jelas. Tetapi masih banyak umat yang ragu-ragu meninggalkan sholat Jumat di tengah pandemi wabah Covid-19 ini.
"Buku saku itu saya susun bersama Ahmad Hasan Asy'ari Ulama'i dalam waktu sangat singkat. Memang agak terburu-buru sehingga masih terdapat kesalahan terutama pada halaman 19. Tetapi kesalahan tersebut sudah kami perbaiki dalam edisi revisi," ujarnya.
Mu'ti berharap, buku saku tersebut bisa menjadi salah satu referensi bagi mereka yang setuju dan bukan untuk menambah kontroversi. Dia menyadari, tentu ada yang tidak setuju. Tetapi yang terpenting tetap saling menghormati dan sepakat bekerja sama serta berdoa agar wabah Covid-19 ini bisa diatasi dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Hasanuddin Abdul Fatah mengapresiasi penerbitan buku saku tentang sholat Jumat itu selama sejalan dengan fatwa MUI dan anjuran pemerintah. Utamanya, memperkuat fatwa MUI dalam rangka pencegahan penyebaran wabah virus Covid-19.
"Saya kira bagus kalau isinya memperkuat fatwa MUI dan memperkuat anjuran pemerintah. Pemerintah sendiri kan jelas, yaitu agar belajar di rumah, bekerja di rumah, dan beribadah di rumah. Kalau panduannya sejalan dengan itu, dan khususnya sejalan dengan fatwa MUI, ya bagus," ujarnya.
Bahkan, lanjut Hasanuddin, jika perlu, ormas Islam lain juga turut menyusun buku panduan ibadah dalam keadaan pandemi seperti sekarang ini. Tentu selama isinya dalam rangka mencegah penyebaran wabah, dan tidak memicu wabah menjalar lebih cepat.
"Kalau isinya antara lain shalat tarawih di rumah ya itu bagus. Kalau isinya tarawih tetap di masjid, ya pemerintah pun tentu akan memberi teguran," ujarnya.
Buku panduan itu, bisa meluruskan segala paham yang keliru soal meninggalkan shalat Jumat di tengah pandemi. Dia juga menyadari, masih ada kalangan masyarakat Muslim yang ragu untuk meninggalkan sholat Jumat di tengah wabah yang penyebarannya sudah tidak terkendali. Dasar yang digunakan mereka adalah hadits di mana Rasulullah bersabda jika meninggalkan sholat Jumat tiga kali berturut-turut tanpa uzur maka termasuk golongan orang-orang munafik.
"Tetapi harus dilihat secara lengkap haditsnya. Itu kan tanpa uzur, tanpa alasan syar'i. Jadi jangan sepotong-potong dalam memahami hadis. Ini jelas ada uzurnya, ada uzur syar'i yang benar, karena (wabah) ini nyawa taruhannya," ujarnya.
Karena itu juga, MUI mengeluarkan fatwa nomor 14/2020 untuk mengurangi penyebaran wabah. Di dalam fatwa itu, bukan hanya boleh meninggalkan sholat Jumat tetapi dilarang melaksanakan sholat Jumat dalam kondisi penyebaran yang tidak terkendali sehingga dapat membahayakan nyawa manusia.
Menurut Hasanuddin, kalangan yang keliru itu perlu diberikan pemahaman lebih dalam tentang hakikat ajaran Islam itu sendiri. "Memang ada orang yang mempunyai pemahaman seperti itu, tetap tarawih, tetap Jumatan, mereka belum memahami hakikat ajaran Islam itu sendiri dan hukum Islam," ujarnya.