REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Khadijah binti Khuwailid menenangkan kegelisahan suaminya, Muhammad SAW, manakala beliau menerima wahyu pertama di Gua Hira. Saat itu, Muhammad SAW mengalami ketakutan karena didekap oleh Malaikat Jibril dan disuruh membaca--padahal beliau tidak dapat membaca.
Muhammad pulang dengan membawa ketakutan seraya meminta Khadijah untuk menyelimutinya. Khadijah lantas menghibur suaminya itu seraya berkata, "Sekali-kali tidak. Demi Allah. Allah tidak akan menghinakan engkau selamanya. Sungguh, engkau selalu menyambung tali silaturahim. Engkau memikul beban tanggungan orang lain. Engkau mengusahakan kerja bagi para penganggur. Engkau memuliakan tamu, dan engkau juga mengerjakan berbagai kebaikan."
Pendamping yang setia
Nabi Muhammad SAW adalah lelaki terbaik sepanjang zaman. Beliau-lah manusia yang paling bertakwa kepada Allah. Walau demikian, beliau adalah manusia biasa yang mungkin saja mengalami ketakutan.
Pada saat itulah, peran seorang istri shalihah sangat diperlukan di dalam menstabilkan keguncangan psikis yang dialami sang suami.
Khadijah adalah istri teladan. Dia adalah wanita yang menafkahkan dirinya dan hartanya untuk perjuangan Islam. Dia senantiasa setia menemani suaminya dalam segala keadaan, bahkan dalam kondisi tersulit sekalipun. Pantaslah bila Nabi SAW merasa sangat kehilangan ketika Khadijah wafat, dan beliau terus mengenang istrinya itu sepanjang hayat.
Khadijah adalah gambaran keteladanan seorang istri. Ia mendampingi suaminya dalam usaha untuk meraih surga, dan mereka berdua berhasil meraihnya. Khadijah mendorong suaminya untuk bangkit berdakwah, manakala sang suami mengalami ''trauma psikologis'' saat menerima wahyu pertama.
Allah menghargai peran serta Khadijah di dalam perjuangan Islam. Sebuah rumah di surga telah disediakan untuk Khadijah, sebagaimana termaktub dalam sebuah hadis. ''Nabi SAW memberi kabar gembira kepada Khadijah berupa rumah yang terbuat dari permata, tiada suara bising di sana, dan tiada pula keletihan.'' (Shahih Al-Bukhari 12/188, hadis no. 3535).