Sabtu 25 Apr 2020 03:42 WIB

Survei: Tidak Mudik Bukan karena Dilarang, Tapi tak Ada Uang

Mayoritas pendatang Jabodetabek yang disurvei tidak mudik karena alasan keuangan.

Red: Nur Aini
Larangan mudik. (Ilustrasi)
Foto: ANTARA/Asep Fathulrahman
Larangan mudik. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bukan lagi soal mudik ataupun pulang kampung, tetapi publik lebih terpukul tidak mudik karena memang keadaan keuangan mereka tengah memburuk akibat pandemi Covid-19.

Hasil survei dari Lembaga KedaiKOPI menyebutkan bahwa sebesar 94,8 persen publik khususnya pendatang di Jabodetabek memilih tidak akan mudik karena alasan kondisi keuangan yang sedang tidak memungkinkan. Namun, beberapa di antaranya memilih untuk tetap mudik nantinya tetapi pada saat hari raya, sebanyak 29 persen masyarakat lebih memilih hal tersebut sebagai pilihan tidak mudik jauh hari.

Baca Juga

Survei tersebut diadakan beberapa hari jelang adanya keputusan untuk pelarangan mudik oleh pemerintah. Selain itu, berbagai tanggapan masyarakat juga digali dalam mengatasi perlawanan terhadap Covid-19.

Misalnya, pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dipersepsikan efektif oleh warga Jabodetabek terutama terkait pembatasan moda transportasi (Commuterline/KRL, TransJakarta). Responden yang berasal dari Jabodetabek menjawab dengan rata-rata 8.40 untuk elemen penerapan PSBB yang telah dilaksanakan di wilayah Jabodetabek atau terbaca dengan hasil yang efektif.

Survei diselenggarakan pada 14-19 April 2020, dengan mewawancarai 405 responden yang merespon dari 2324 data panel responden di Jabodetabek Lembaga Survei KedaiKOPI (response rate: 17,4 persen). Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo mengatakan, publik Jabodetabek mempersepsi penerapan PSBB sebagai hal yang efektif, dengan rata-rata tertinggi: pembatasan transportasi (8,7), dan rata-rata terendah: pembatasan kegiatan keagamaan (8,0).

Namun ketika ditanya terkait upaya antisipasi Covid-19, dengan pertanyaan terbuka dan diperkenankan menjawab lebih dari satu, upaya yang telah dilakukan publik masih terbilang rendah. Terdapat tiga besar hal yang sudah mereka lakukan dari temuan pertanyaan tersebut, yaitu Rajin cuci tangan (32,6 persen), di rumah saja (25,7 persen), dan menggunakan masker (25,4 persen).

“Walaupun warga mengatakan PSBB efektif, namun ketika ditanya upaya antisipasi yang mereka lakukan persentasenya terbilang rendah. Top of Mind ketika mereka ditanyakan menunjuk rajin cuci tangan sebagai aktivitas yang paling mereka lakukan, dan itu-pun hanya 32,6 persen. Hal ini menunjukkan tindakan untuk pengantisipasian di level personal masih rendah,” kata Kunto.

Angka responden Jabodetabek yang memercayai bahwa masyarakat Indonesia kebal pada Covid-19 terbilang rendah, hanya 7,4 persen yang setuju bahwa masyarakat Indonesia kebal Covid-19. Sedangkan, 92,6 persen tidak setuju bahwa masyarakat kebal COVID-19, dengan rata-rata 2,28 dari skala 10.

“Persentase ketidaksetujuan akan kekebalan Covid-19 ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan Survei Persepsi Publik Indonesia tentang Virus Corona yang diselenggarakan oleh KedaiKOPI sebelumnya yaitu pada 3-4 Maret 2020."

"Pada saat telesurvei yang diselenggarakan pada bulan Maret tersebut, hanya 65,1 persen menjawab tidak setuju bahwa masyarakat Indonesia kebal Covid-19, dan ada 34,9 persen yang setuju bahwa masyarakat Indonesia kebal Covid-19, dengan rata-rata 4,29 dari skala 10”, ujar Kunto.

Sedangkan, terkait kepanikan Kunto mengatakan, 39,3 persen dari responden menjawab panic buying adalah hal yang paling mungkin terjadi, sedangkan di urutan kedua, 22,7 persen menjawab timbulnya rasa takut/stigma negatif terhadap penderita serta petugas medis.

Seperti diketahui pemerintah selalu mengedepankan imbauan untuk tidak panik. Terkait temuan tersebut, Kunto mengatakan, “Namun, panik sebenarnya tidak sama dengan takut, justru takut diperlukan dalam penanganan krisis. Himbauan panik dapat dialihkan ke skema ketahanan dengan melibatkan komunitas.”

Untuk kebijakan bekerja dari rumah atau (WFH), sebesar 35,1 persen dari responden menjawab masih bekerja di luar rumah, dan 64,9 persen telah bekerja dari rumah (Work from Home). “Imbauan pemerintah untuk melakukan pekerjaan dari rumah, telah dipatuhi hampir 65 persen dari responden”, tutur Kunto.

Kemudian, 60,7 persen responden menjawab penghasilan dan pendapatan dirinya atau keluarga lebih buruk setelah ada imbauan Work from Home atau PSBB, 38,8 persen responden menjawab sama saja, sedangkan hanya 0,5 persen yang menjawab lebih baik dari sebelumnya.

Kunto mengatakan, terkait Kartu Prakerja, 94.3 persen dari responden mengatakan tidak memiliki kartu yang menjadi salah satu program kampanye Jokowi pada Pemilu 2019 kemarin, dan hanya 4,5 persen yang sedang dalam proses pendaftaran. Sisanya, 1,2 persen menjawab telah memiliki kartu Prakerja. Kartu Prakerja sendiri mengalami kenaikan alokasi dari yang sebelumnya hanya 10 triliun menjadi 20 triliun, untuk penanganan dampak ekonomi Covid-19 ini.

Sebesar 94,8 persen responden menjawab tidak akan mudik, sebab alasannya adalah penghasilan dan kondisi keuangan dirinya memburuk. Namun 29 persen dari para pendatang atau bukan asli daerah Jabodetabek mengatakan akan mudik pada Hari Raya Idulfitri nanti, 29,5 persen menjawab Ragu-ragu dan 41,5 persen menjawab tidak akan mudik.

Sebanyak, 93,8 persen responden menjawab khawatir bahwa diri mereka akan tertular Virus Corona/Covid-19. Rata-rata kekhawatiran akan tertular adalah 8,67 dari skala 10. Sedangkan 34,1 persen publik Jabodetabek mengetahui di sekitar (rumah, tempat kerja, dan pergaulan) terdapat orang yang berstatus Pasien Positif Virus Corona/Covid-19 dan Pasien Dalam Perawatan (PDP).

Terdapat 72,6 persen responden yang optimis darurat Covid-19 dapat diatasi hingga 29 Mei 2020. Rata-rata menjawab 6,81 dari skala 10 terkait optimisme penyelesaian Covid-19 dalam waktu dekat tersebut.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement