REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan membela Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly terkait gugatan yang diajukan kepada sang menteri. Ia meyakini gugatan yang diajukan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu bakal ditolak pengadilan.
"Ya kita hormati saja, tapi saya yakin kok gugatannya pasti ditolak, karena dari sejak awal tidak berasalan menurut hukum," ujar Arteria, Selasa (28/4).
Politikus PDIP itu mengaku menghargai adanya upaya hukum yang dilakukan sejumlah aktivis terkait kebijakan pelepasan narapidana melalui program asimilasi dan integrasi kepada para narapidana yang dilakukan Yasonna ke Pengadilan Negeri Surakarta. Pengajuan gugatan itu dikarenakan kebijakan itu dianggap menimbulkan keresahan dan tindak pidana dari para napi yang dibebaskan.
"Itu kan hak mereka, dan kanalnya tepat, namun kita juga harus menghormati proses peradilan yang akan berlangsung dan tidak perlu mengumbar polemik di ruang publik," ujar Arteria.
Terlepas dari itu, Arteria justru menyebut kebijakan asimilasi yang dikeluarkan sudah tepat. Menurut dia, kebijakan itu telah melalui pertimbangan yang matang serta sempat pula dibicarakan dan disetujui oleh DPR dalam Rapat Kerja Komisi III sebelum kebijakan tersebut diambil.
Arteria juga membantah adanya pihak yang mengatakan, bahwa sejak awal kebijakan tersebut diambil tidak melalui pertimbangan yang matang dan cenderung transaksional. Menurut dia, kebijakan publik ini sudah disepakati bersama.
"Jadi jangan sembarang bicara apalagi kalau menggiring opini publik seolah mengesankan bahwa kebijakan tersebut diambil atas dasar transaksional. Itu fitnah besar," ujar dia.
Arteria menyebut kebijakan itu muncul karena alasan kemanusiaan dan mengingat lapas/rutan tidak mampu memberikan dan menyiapkan sarana dan prasarana kedaruratan kesehatan yang memadai. Maka itu, ia meminta berbagai pihak memahami kebijakan Yasonna.
"Sangat tidak mungkin untuk dilakukan social distancing atau physical distancing dalam kondisi over capacity yang terjadi di hampir sebagian besar lapas dan rutan," ujarnya.
Arteria menambahkan, jika dilihat dari 37 ribu yang mendapat asimilasi, hanya sebagian kecil yang mengulangi tindak pidana.
Yasonna Laoly digugat ke pengadilan karena mengeluarkan kebijakan Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 tentang Asimilasi bagi 37 ribu narapidana (napi) se-Indonesia. Penggugat menilai kebijakan Menkumham itu memunculkan keresahan masyarakat.
"Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yakni Yayasan Mega Bintang, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), dan Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum (LP3H) yang melakukan upaya hukum menuntut agar kebijakan Kemenham itu dicabut," kata Sekretaris Yayasan Mega Bintang, Arief Sahudi, di Solo , Kamis (23/4).
Menurut Arief, yang melatari Yayasan Mega Bintang dalam upaya hukum dengan gugatan kepada Menkumham tersebut, karena dianggap kebijakan tentang asimilasi napi itu sudah meresahkan masyarakat.
Yasonna Laoly menegaskan, bahwa pengeluaran narapidana (napi) dan anak melalui program asimilasi dan integrasi sebagai upaya mencegah penyebaran Covid-19. Pembebasan juga untuk mengurangi angka kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan (lapas), rumah tahanan negara (rutan), maupun lembaga pemasyarakatan khusus anak (LPKA).
Yasonna mengatakan adanya kelebihan kapasitas membuat pembatasan fisik dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19 tidak bisa berjalan. Sehingga, diperlukan langkah-langkah strategis dalam upaya membuat jarak antarnapi di dalam lapas, rutan maupun LPKA.
"Pertama kali yang harus dilakukan adalah creating space pada seluruh lapas, rutan dan LPKA yang saat ini mengalami overcrowded. Maka dari itu saya menginstruksikan segera pada jajaran pemasyarakatan untuk melakukan langkah-langkah pencegahan, dari mulai penyiapan bilik sterilisasi, penghentian sementara penerimaan tahanan, subtitusi layanan kunjungan dengan layanan daring, pelaksanaan sidang online, sampai pada kebijakan program asimilasi dan integrasi melalui Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020," ujar Yasonna dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Senin (27/4).