Oleh: Abu Amar Fauzi, S.S., M.M., Dosen Manajemen Pemasara, STIE Perbanas Surabaya, PhD Student di Departemen Administrasi Bisnis, National Taiwan University of Science and Technology
Pandemi Covid-19 telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 pada 13 April 2020 lalu. Keppres tersebut tentunya memberikan sinyal bahwa wabah Covid-19 ini harus menjadi kewaspadaan bagi semua pihak. Bagi perusahaan, situasi ini diharapkan tidak terjadi karena dapat memberikan efek negatif bagi perusahaan kecuali jika perusahaan mampu meresponnya dengan baik. Dalam kajian strategis perusahaan, bencana merupakan sebuah ancaman yang sulit untuk dikendalikan karena hal tersebut terjadi diluar kontrol perusahaan dan seringkali perusahaan kesulitan untuk meminimalisir ancaman bencana yang berdampak pada kinerja perusahaan. Namun demikian, bagi perusahaan yang memiliki perencanaan alternatif (contingency plan) yang cukup mapan, munculnya bencana seperti pandemi Covid-19 ini tidak hanya dapat diminimalisir dengan baik, tetapi juga bisa memberikan dampak positif bagi perusahaan pasca-bencana terjadi.
Pada dasarnya, di setiap kesulitan sesungguhnya ada hikmah dan kemudahan. Oleh karena itu, situasi apapun harus selalu disikapi positif oleh perusahaan sehingga mampu berfikir kreatif. Pikiran-pikiran kreatif tersebut akan mengarahkan perusahaan untuk menetapkan langkah-langkah strategis yang dapat menguntungkan perusahaan meskipun ada konsekuensi finansial yang harus dikorbankan. Akan tetapi, konsekuensi finansial untuk merespon situasi sulit tersebut sejatinya bersifat sementara. Mengapa demikian? Pengorbanan pada sisi finansial tersebut dapat diarahkan untuk membangun citra perusahaan yang akan mengalirkan efek menguntungkan bagi perusahaan karena strategi tersebut berpotensi mendapatkan respon positif dari pasar. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?
Empati sebagai Bentuk Kualitas Layanan Perusahaan
Tidak bisa dibantah bahwa kualitas layanan adalah salah satu poin sentral bagi perusahaan untuk memberikan layanan prima bagi konsumennya. Di sisi lain, konsumen juga secara berkelanjutan mengevaluasi kinerja perusahaan berkaitan dengan kualitas pelayanan yang diterimanya.
Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1988) memformulasikan sebuah skala pengukuran untuk mengukur persepsi konsumen terhadap kualitas layanan yang dikenal dengan sebutan SERVQUAL. Skala SERVQUAL mencakup lima dimensi yaitu Tangibles, Reliability, Responsiveness, Assurance dan Empathy. Pada konteks kali ini, pembahasan akan mengarah pada salah satu dimensi yaitu dimensi empati (Empathy). Dimensi empati ini menggambarkan persepsi konsumen terhadap seberapa besar perhatian khusus (caring atau attention) yang perusahaan sediakan kepada konsumennya.
Di tengah kondisi sulit seperti saat ini, berbagai macam permasalahan tidak hanya akan dihadapi oleh perusahaan tetapi juga konsumen. Namun demikian, konsumen-lah yang akan menghadapi permasalahan yang lebih berat. Dengan berbagai macam kebijakan pemerintah berkaitan dengan pencegahan penyebaran Covid-19, mulai dari social distancing dan physical distancing hingga PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), banyak konsumen diprediksi akan mengalami penurunan daya belinya. Jika hal tersebut terjadi maka konsumen dihadapkan pada beban berat dalam menjalani keberlangsungan hidupnya. Oleh karena itu, strategi perusahaan dalam berempati kepada konsumennya di tengah pandemi ini bisa menjadi langkah strategis dalam membuktikan dan memperkuat level kualitas pelayanan perusahaan kepada konsumennya.
Empati Perusahan dan Simpati Pasar
Dalam upaya mendukung kebijakan pemerintah, perusahaan layanan telekomunikasi seperti Telkomsel dan IM3 misalnya, memberikan layanan kuota internet gratis 30GB selama kurang lebih satu bulan bagi konsumennya yang bisa dinikmati dalam mengakses konten-konten edukatif. Bahkan kedua provider tersebut bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang menerapkan sistem pembelajaran daring sehingga mahasiswa juga dapat memanfaatkan layanan internet gratis tersebut selama kebijakan mengenai pandemi diberlakukan. Selain itu, seperti yang telah diberitakan oleh Jawa Pos pada edisi 23 April 2020, beberapa perguruan tinggi di Surabaya, seperti PPNS (Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya), STIE Perbanas Surabaya dan Universitas Airlangga, memberikan insentif kepada para mahasiswa mulai dari pemberian kuota internet untuk pembelajaran daring, pemantauan kesehatan secara daring, keringanan pembayaran SPP, pembebasan denda bagi mahasiswa yang terlambat melakukan pembayaran SPP hingga penurunan UKT bagi para mahasiswa.
Langkah dua perusahaan dan beberapa perguruan tinggi tersebut adalah contoh upaya-upaya yang berorientasi pada rasa empati kepada konsumennya. Secara praktis, kebijakan organisasi profit dan nonprofit tersebut tentunya dapat meringankan beban konsumen yang mengalami masa sulit di tengah pandemi Covid-19. Kemudian, secara simultan konsumen akan menilai bahwa perusahaan tersebut memiliki kualitas layanan yang bagus kepada konsumennya terlebih kebijakan tersebut merupakan inisiasi original yang datang dari manajemen perusahaan bukan karena dorongan dari pemerintah. Di tengah arus informasi yang terbuka saat ini, konsumen mendapatkan akses terbuka untuk menilai sejauh mana kualitas layanan perusahaan. Alhasil, jika kebijakan strategis untuk berempati kepada konsumen tersebut dinilai memberikan nilai berarti bagi konsumen karena memiliki kemanfaatan dalam mendukung aktivitas konsumen maka perusahaan secara otomatis akan mendapatkan feedback positif berupa simpati konsumen secara khusus dan berpotensi juga mendapatkan simpati pasar secara luas.
Memperkuat Ekuitas Merek Perusahaan
Meskipun langkah perusahaan tersebut hanya untuk mengekspresikan bentuk empati kepada konsumennya semata, namun demikian tidak bisa dihindari bahwa langkah tersebut bisa memberikan kekuatan pada ekuitas merek perusahaan pasca Covid-19. Ekuitas merek terdiri dari brand awareness dan brand image perusahaan di benak konsumen yang tentunya berdampak panjang bagi eksistensi perusahaan. Brand awareness atau kesadaran merek akan semakin kuat di benak konsumen karena strategi-strategi yang memberikan rasa empati tersebut akan selalu diingat oleh konsumen dan akan menjadi referensi konsumen berkaitan dengan keputusan pembelian di masa depan. Selanjutnya, strategi-strategi tersebut juga dapat memperkuat brand image atau citra perusahaan di benak konsumen. Konsumen akan merasa bahwa perusahaan memiliki kepedulian kepada konsumennya dengan berempati di tengah situasi sulit yang dihadapi konsumennya. Citra positif yang dihasilkan dari sikap empati perusahaan juga memberikan persepsi konsumen bahwa perusahaan memiliki kualitas layanan yang baik dan pada akhirnya terkonversi dengan adanya simpati pasar. Oleh karena itu, tidaklah buruk jika perusahaan-perusahaan lainnya menerapkan strategi yang serupa. Selain dapat menangkap simpati pasar, aktivitas berempati perusahaan akan sangat ditunggu oleh konsumennya di tengah upaya-upaya konsumen melewati masa-masa sulit pandemi.