REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -- Meski hasilnya tidak seakurat menggunakan tes Polymerase Chain Reaction (PCR), masyarakat diminta untuk tetap menjalani tes cepat (rapid diagnostic test/RDT). Sebab, fasilitas tes PCR di Tanah Air masih terbatas.
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Bakti Bawono Adisasmito mengungkap kelemahan tes metode ini adalah spesifitas dan sensitivitasnya yang tidak tinggi yaitu hanya 60-80 persen. Ini mengakibatkan hasil tes bisa berubah yang awalnya positif Covid-19 tetapi bisa saja ketika dites PCR ternyata menunjukkan hasil sebaliknya.
"Tetapi masyarakat bisa tetap melakukan RDT karena keterbatasan fasilitas PCR dan harus ditangani laboratorium maupun ahli. Jadi masyarakat yang berjumlah banyak ini bisa menjalani RDT untuk skrining tes selanjutnya dan tidak semua harus jalani PCR," ujarnya saat video conference bertema Fokus Indonesia untuk Meningkatkan Kapasitas Deteksi Virus di akun youtube di media centre Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Selasa (5/5).
Ia menyebutkan, ada dua jenis RDT yaitu mengetes antibodi di tubuh dan mendeteksi antigen. Kendati demikian, ia menyebutkan RDT baru bisa mendeteksi virus pascaantibodi terhadap Covid-19 muncul.
Biasanya bisa ketahuan setelah tubuh melawan dan timbul gejala batuk, demam dan lainnya.
"Di situ rapid test bisa mendeteksinya dan cepat (mengetahui hasilnya)," ujarnya.
Ini berbeda dengan PCR yang menggunakan gold standar atau standar utama tes Covid-19 karena beberapa sebab. Wiku menyebutkan PCR memiliki sensitivitas dan spesifitas sekitar 95 persen.
"Karena itu alat ini dipakai di seluruh dunia untuk memastikan infeksi virus. Caranya sampel swab diambil dari hidung dan tenggorokan dan kemudian menunjukkan positif atau negatif SARS-CoV2," ujarnya.
Karena itu, dia menambahkan, tes ini sering disebut sistem terbuka dan memerlukan zat reagen serta sampel. Ia menambahkan pelaksanaan tes ini relatif cepat karena hasilnya bisa diketahui dalam beberapa jam.
Terkait negara-negara lain yang bisa menguji penduduknya terinfeksi Covid-19 dengan PCR, Wiku menolak untuk dibandingkan. Menurutnya, Indonesia yang memiliki populasi terbesar keempat di dunia dan negara kepulauan tidak bisa dibandingkan dengan negara yang jumlah penduduknya lebih sedikit dan kemampuan ekonominya lebih bagus.