REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan mengasuh anak atau hadhanah tidak ada hubungannya dengan perwalian terhadap anak, baik menyangkut perkawinannya maupun menyangkut hartanya. Hadhanah adalah perkara mengasuh anak, dalam arti mendidik dan menjaganya untuk masa ketika anak-anak itu membutuhkan wanita pengasuh. Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa itu adalah hak ibu. Namun, jika karena sesuatu hal seorang ibu tidak mampu mengasuh anaknya, kepada siapakah hak asuh tersebut dialihkan?
Hak itu, menurut para ulama Hanafiyah, secara berturut-turut dialihkan dari ibu kepada ibunya ibu, ibunya ayah, saudara-saudara perempuan kandung, saudara-saudara perempuan seibu, saudara-saudara perempuan seayah, anak perempuan dari saudara perempuan kandung, kemudian anak perempuan dari saudara seibu, dan demikian seterusnya hingga pada bibi dari pihak ibu dan ayah.
Sedangkan, menurut ulama Malikiyah, hak asuh itu berturut-turut dialihkan dari ibu kepada ibunya ibu dan seterusnya ke atas, saudara perempuan ibu sekandung, saudara perempuan ibu seibu, saudara perempuan nenek dari pihak ibu, saudara perempuan kakek dari pihak ibu, saudara perempuan kakek dari pihak ayah, ibu dari ibunya ayah, ibu dari bapaknya ayah, dan seterusnya.
Mengenai hal ini, ulama Syafi'iyah memfatwakan, hak asuh itu secara berturut-turut jatuh ke tangan ibu, ibunya ibu, dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat mereka itu adalah pewaris-pewaris si anak. Sesudah itu adalah ayah, ibunya ayah, ibu dari ibunya ayah, dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat mereka adalah pewaris-pewarisnya pula. Selanjutnya adalah kerabat-kerabat dari pihak ibu dan disusul kerabat-kerabat dari ayah.
Sedangkan, ulama Hambaliyah menyatakan, hak asuh itu berturut-turut berada pada ibu, ibunya ibu, ibu dari ibunya ibu, ayah, ibu dari ibunya kakek, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah, saudara perempuan ayah sekandung, seibu, dan seterusnya.
Dalam pandangan mazhab Imamiyah, jika seorang ibu tidak mampu mengasuh anaknya, hak asuh jatuh ke tangan ibu, lalu ayah. Jika ayah meninggal atau menjadi gila sesudah asuhan diserahkan kepadanya, sedangkan ibu masih hidup, asuhan diserahkan kembali kepada ibu. Sebab, ibu adalah orang yang paling berhak mengasuh si anak dibanding dengan seluruh kerabat, termasuk kakek dari pihak ayah, bahkan andaikan dia kawin lagi dengan laki-laki lain sekali pun.
Jika kedua orang tua meninggal dunia, hak asuh beralih ke tangan kakek dari pihak ayah. Kalau kakek dari pihak ayah ini meninggal tanpa menunjuk seorang penerima wasiat (yang ditunjuk untuk mengasuh), hak asuh beralih kepada kerabat-kerabat si anak berdasarkan urutan waris. Kerabat yang lebih dekat menjadi penghalang bagi kerabat yang lebih jauh. Bila anggota keluarga yang berhak itu jumlahnya berbilang dan sejajar, semisal nenek dari pihak ayah dengan nenek dari pihak ibu, atau bibi dari pihak ayah dengan bibi dari pihak ibu, dilakukan undian manakala mereka berebut ingin mengasuh. Orang yang namanya keluar sebagai pemenang, dialah yang paling berhak mengasuh sampai orang ini meninggal atau menolak haknya.
Para ulama dari berbagai mazhab ini sepakat bahwa untuk mendapatkan hak asuh disyaratkan orang yang mengasuh berakal sehat, bisa dipercaya, suci diri, bukan pelaku maksiat, bukan penari, dan bukan peminum khamr serta tidak mengabaikan anak yang diasuhnya. Tujuan dari keharusan adanya sifat-sifat tersebut adalah untuk menjamin kesehatan anak dan pertumbuhan moralnya. Syarat-syarat ini, seperti disebutkan dalam buku Fiqih Lima Mazhab, juga berlaku bagi pengasuh laki-laki.