Senin 11 May 2020 16:40 WIB

BPK: Pencairan Dana Bagi Hasil Daerah tak Perlu Tunggu Audit

Pemakaian hasil pemeriksaan BPK sebagai dasar pembayaran DBH tidak relevan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna (kiri) menegaskan, pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kepada pemerintah daerah tidak perlu menunggu hasil audit BPK.
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna (kiri) menegaskan, pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kepada pemerintah daerah tidak perlu menunggu hasil audit BPK.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna menegaskan, pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kepada pemerintah daerah tidak perlu menunggu hasil audit BPK. Agung menyatakan, menggunakan hasil pemeriksaan BPK sebagai dasar untuk membayar DBH dari pusat ke daerah tidak relevan.

"Tidak ada hubungan antara pembayaran kurang bayar DBH tahun 2019 yang menjadi kewajiban Kemenkeu kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atau pemda manapun dengan pemeriksaan BPK. Tidak ada hubungannya," tegas Agung dalam Konferensi Pers IHPS II 2019 BPK, Senin (11/5).

Baca Juga

Agung mengatakan, BPK telah mengirimkan surat resmi kepada Menteri Keuangan tertanggal 28 April 2020 untuk menjelaskan perihal tersebut. Surat tersebut, menurut Agung, sudah menjelaskan secara rinci mengenai prosedur pembayaran DBH berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Tidak ada satu pun undang-undang perbendaharaan negara yang mengatur bahwa kewajiban pusat (membayar DBH) harus menunggu hasil audit BPK," katanya.

Sebagaimana diketahui, pembayaran DBH baru-baru ini menjadi polemik, khususnya DBH bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemprov meminta agar pemerintah pusat dalam hal ini Kemenkeu agar segera mencairkan DBH yang kurang bayar untuk tahun 2019 yang menjadi kewajiban Kemenkeu.

Permintaan itu seiring kebutuhan dana Pemprov untuk penanganan Covid-19 di mana diperlukan anggaran untuk bantuan sosial. Menanggapi itu, Kementerian Keuangan menyatakan bahwa pencairan DBH kurang bayar 2019 mesti menunggu hasil audit BPK untuk tahun 2019.

Agung pun menegaskan, Covid-19 terjadi tahun 2020. Sementara, yang dipersoalkan adalah DBH tahun 2019. "Jadi tidak ada hubungannya, silakan saja Kemenkeu untuk membuat keputusan. Masalah bayar atau tidak bayar, ada di tangan Kemenkeu, tidak perlu dihubung-hubungkan dengan pemeriksaan BPK," tegasnya.

Pada Jumat (8/5) pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan telah menyalurkan DBH kurang bayar untuk DKI Jakarta sebesar Rp 2,6 triliun. Jumlah itu sekitar 50 persen dari total DBH kurang bayar untuk DKI Jakarta sebesar Rp 5,16 triliun.

Sri pun menuturkan DBH kurang bayar Rp 2,6 triliun itu terdiri dari sisa kurang bayar 2018 sebesar Rp 19,35 miliar dan separuh kurnag bayar tahun 2019 senilai Rp 2,58 triliun. Penyarluran DBH dilakukan demi membantu provinsi-provinsi yang mengalami penurunan pendapatan asli daerah (PAD).

Padahal di satu sisi, Pemda memiliki kebutuhan dnaa mendesak untuk penanganan Covid-19. Sri pun pada akhir pekan lalu menyatakan bahwa pencairan DBH baru dilakukan separuhnya karena masih harus menunggu audir BPK.

"Sisanya akan ditetapkan akan disalurkan, dalam periode selanjutnya dan tentu setelah audit BPK dan LKPP," kata Sri.

Sri mulyani menyebutkan, normalnya kurang bayar DBH baru bisa dicairkan pada Agustus-September tahun berikutnya setelah BPK dan LKPP melakukan audit.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement