REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernikahan adalah salah satu fase kehidupan manusia. Bagaimanapun, tak sedikit orang yang lebih suka menunda-nunda menikah. Di antara dalih yang sering menjadi alasan mereka, adalah takut tidak mampu memberikan nafkah.
Padahal, ini justru bertolak belakang dengan pesan Rasulullah SAW. Sabda beliau, "Barangsiapa yang takut menikah karena takut miskin, maka bukan umatku" (HR Dailami dan Abu Dawud).
Rasulullah SAW juga berpesan, ''Wahai para pemuda, jika salah seorang dari kalian mampu menikah, maka lakukanlah, sebab menikah itu baik bagi mata kalian dan melindungi yang paling pribadi'' (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas mengisyaratkan untuk segera menikah bila lahir batin, fisik maupun mental, telah mampu. Bahkan, Rasulullah SAW mempertegas, ''Barangsiapa yang suka syariatku, maka hendaklah mengikuti sunahku. Dan bagian dari sunahku adalah menikah.'' (HR Baihaqi).
Keutamaan menikah
Menikah memiliki banyak keutamaan. Pertama, terpelihara diri dan agamanya. Rasulullah SAW berkata, ''Jika seorang telah menikah, berarti ia telah mencukupi separuh dari agama, maka hendaklah bertakwa pada Allah dalam menjaga sisanya yang separuh.''
Kedua, mendapatkan limpahan rahmat dari Allah SWT. ''Pintu-pintu langit akan dibuka dengan rahmat-Nya dalam empat situasi, yaitu saat turun hujan, saat seorang anak melihat wajah orang tuanya dengan kasih, ketika pintu Ka'bah dibuka, dan saat pernikahan,'' jelas Rasulullah SAW.
Ketiga, berbagi kasih sayang dan cinta. ''Di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah adalah Dia menciptakan dari jenismu pasangan-pasangan agar kamu (masing-masing) memperoleh ketenteraman dari (pasangan-pasangan)-nya, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir. (QS Ar-Rum (30): 21).
Nikah merupakan ibadah yang didasarkan pada kerelaan, kesediaan, serta berkomitmen secara tulus untuk merajut rumah tangga sebagai surga yang dipenuhi kasih dan sayang (mawaddah wa rahmah). Mawaddah secara harfiah berarti kelapangan dan kekosongan.
Jadi, mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk.
Sedangkan rahmah adalah kondisi psikologis yang terbit di dalam ufuk hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. ''Istri-istri kalian adalah pakainan bagi kalian, dan kalian adalah pakaian untuk mereka. (QS Al-Baqarah (2): 187).
Hidup melajang dan membujang seumur hidup, secara psikologis, tak sehat. Sebab, secara fitri manusia membutuhkan pasangan hidup tempat saling mencurahkan kasih sayang.