REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Berikut ini adalah tulisan cuplikan dalam buku legendariss karya antrpolog kondang asal Amerika Serikat Clifford Geertz dalam bukunya yang sangat fenomenal: Agama Jawa --Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa.
Pada tulisan ini kami muat tulisan pada awal bab kedua yang bahasannya mengkaji dunia batin orang Jawa dengan sangat menarik, yakni 'Kepercayaan Terhadap Makhluk Halus'. Bagi pembaca yang suka kisah horor dan aneka tayangan hantu atau makhluk halus lainnya, tentu saja menjadi penting dan menarik. Bahkan khusus dalam soal ini ada komentar menarik dari mantan wakil ketua MPR yang kini menjadi Dubes Indonesia di Lebanon. Menurut Hajriyanto yang juga menjadi anggota PP Muhammadiyah menyatakan keheranannya atas kefasihan Geertz menulis aneka macam makhluk halus di Jawa, padahal dia 'bule', orang Amerika Serikat.
''Bayangkan, saya saja yang orang Jawa baru tahu soal nama-nama hantu ketika membaca bukunya. Ternyata banyak macamnya juga,'' katanya sembari tertawa terkekeh pada sebuah perbincangan di kantornya bebera waktu silam.
Tapi sebelum lebih saja kami perkenalkan Clifford (James) Geertz itu. Dia adalah seorang ahli antropologi asal Amerika Serikat. Ia paling dikenal melalui penelitian-penelitiannya mengenai Indonesia dan Maroko dalam bidang seperti agama, perkembangan ekonomi, struktur politik tradisional, serta kehidupan desa dan keluarga.
Sedangkan untuk buku 'Agama Jawa -- Abangan, Santri Priyayi dalam kebudayaan Jawa ini adalah karya dia ketika meneliti di sebuah kota kecil di Jawa Timur (banyak yang menyebut Kota Pare, di Kediri) pada dekade 1950-an. Geertz menyebut kota ini menarik diteliti karena terdiri dari 90 persen orang yang beragama Islam. Dan ini dia anggap sesuai denan objek kajiannya antropologi tentang agama dan orang Jawa yang memang menjadi proyek tulisan desertasinya di Universitas Harvard, Amerika Serikat.
Berikut tulisannya yang akan kami tayangkan secara serias:
============
Danyang: Makhluk Halus Pelindung
Danyang umumnya adalah nama lain dari demit (yang adalah kata dasar Jawa yang berarti “makhluk halus”). Seperti demit, danyang tinggal menetap di suatu tempat yang disebut punden; seperti demit, mereka merespons permintaan tolong orang dan sebagai imbalannya, menerima janji akan slametan. Seperti demit, mereka tidak menyakiti orang, hanya bermaksud melindungi. Namun, berbeda dengan demit, beberapa danyang dianggap sebagai arwah dari tokoh-tokoh sejarah yang sudah meninggal: pendiri desa tempat mereka tinggal, orang pertama yang membabat tanah. Setiap desa biasanya mempunyai seorang danyang 5utama.
Danyang desa, ketika mereka masih hidup sebagai manusia, datang ke desa selagi masih berupa hutan belantara, membersihkannya serta membagi-bagi tanah kepada para pengikutnya, keluarganya, teman- temannya dan ia sendiri menjadi kepala desanya (lurah) yang pertama.
Sesudah meninggal, ia biasanya dimakamkan di dekat pusat desa dan makamnya lalu menjadi punden. Ia sendiri terus memperhatikan kesejahteraan desanya (namun kadang-kadang makam khusus untuk danyang pendiri ini tidak ada). Orang-orang tertentu mungkin masih menganggap diri mereka sebagai keturunannya dan ia dianggap masih menentukan secara magi siapa yang akan jadi kepala desa, dengan cara mengawasi gerak-gerik sejenis makhluk halus politik yang khusus yang disebut pulung (kebanyakan orang mengatakan bahwa dialah yang menjadi pulung itu):
Ia mengatakan bahwa ada semacam “barang spiritual” yang disebut pulung. Barang yang bisa dilihat dan berbentuk bulan itu, turun kepada calon yang terpilih untuk kepala desa. Hanya para kepala desa dan raja yang memiliki pulung (pulung raja lebih besar), yang menunjukkan bahwa kedudukan lurah lebih penting daripada bupati atau wedono (masing-masing kepala kabupaten dan kewedanaan). Ketika seorang lurah meninggal atau meletakkan jabatan, pulung-nya meninggalkan dia dan mcncari lurah barn. (Kadang-kadang pulung itu pergi jauh ke luar kota untuk sementara dan terlihat ketika lurah yang bcrsangkutan masih memangku jabatan serta jika ada sesuatu yang istimewa terjadi atau ketika desa itu berada dalam bahaya).
Para calon eeringkali duduk di lapangan desa dan pulung melayang-layang di atas mereka untuk memilih orang yang paling murni. Calon lurah kadang mengadakan slametan di makam danyang untuk menarik pulung itu. Terdapat satu pulung untuk setiap desa. Ia tinggal bersama lurah sampai lurah itu meninggal atau tak mampu lagi berbuat kemuliaan. Dalam kasus teraffhir, pulung itu meninggalkannya dan desanya akan tertimpa penyakit, kelaparan atau kacau balau; orang tak lagi ta'at kepada kepala desa.
Tak lama kemudian, ia terpaksa meletakkan jabatan dan orang yang menerima pulung lalu akan menjadi lurah. Saya hertanya kepadanya. apa yang terjadi dengan pulung yang dulu tinggal padfl raja. Ia mengatakan btthwa menurut dugaannya, pulling itu telah pergi ke Jakarta dan Bung Karnolah sekarang yang memiliki p u l u n g raja itu.
Daerah yang berada di bawah kekuasaan danyang de$a disebut kumara. Kumara (atau kemara) berarti suara yang tiba-tiba muncul dari ketiadaan, seperti kalau seorang dukun termasyhur meninggal, dua minggu sesudahnya, orang akan mendengar suaranya secara tiba-tiba, tanpa ketahuan sumbemya. Dengan demikian, kumara meliputi seluruh ruang di atas desa, di mana orang bisa mendengar suara manusia yang berbicara dari permukaan tanah. Sebagai tambahan, keempat pojok desa kadang-kadang dianggap dihuni oleh makhluk halus pelindung, seringkali juga disebut danyang, yang dianggap sebagai anak-anak danyang yang utama, yang bertempat tinggal di pusat desa.
Di kota Mojokuto sendiri, yang menjadi danyang desa adalah seorang pencuri, Maling Kandari, yang dimakamkan di kuburan tua sebelah timur pusat kota. Akan tetapi, sejalan dengan kemerosotan umum struktur politik desa dalam lingkungan kota, dia tak lagi memainkan peran yang teramat penting dalam benak warga kota. Hanya beberapa orang kalangan bawah yang lebih tua saja, yang agaknya tahu banyak tentang Maling Kandari. Itu pun hanya sebatas bahwa ia memperoleh kekuasaan di kawasan kota dengan jalan muslihat, penipuan dan mengadakan hubungan dengan makhluk-makhluk halus yang jahat.
Di desa-desa, minat kepada danyang desa lebih besar. Misalnya, di Sumbersari, desa yang terletak di sebelah utara Mojokuto, nama danyang-nya adalah Mbah Nur Wakit. Nur Wakit datang ke Sumbersari dari barat, dari Yogyakarta di Jawa Tengah. Raja Bragang, yang waktu itu memerintah kawasan tersebut (dalam cerita; sebenarnya, Raja Bragang yang terakhir sudah meninggal 300 tahun sebelum Sumber sari didirikan) menghadiahkan kepadanya tanah yang belum dibabat.
la menempatkan isterinya tepat di pusat daerah yang dihadiahkan kepadanya, melindunginya hanya dengan pagar daun pisang yang tipis dan melarangnya bergerak sedikit pun dari tempat itu, apa pun yang teijadi. Ia kemudian berlari mengitari desa itu untuk menentukan batas- batasnya. Sebuah topan besar bertiup, kemudian hujan turun dengan derasnya; semua pohon roboh dan tanah itu jadi bersih tanpa seorang pun perlu mengayunkan kapak.Isteri Nur Wakit, yang duduk tanpa bergerak samasekali sementara pepohonan beijatuhan di sekelilingnya, tidak mengalami cedera sedikit pun.
Nur Wakit, di samping menjadi lurah, adalah juga seorang kiai, seorang ahli dan guru agama Islam. Setelah beberapa waktu, tugas mengajarnya menjadi semakin berat. Karena itu, pekeijaannya sebagai lurah ia serahkan kepada anaknya. Namun ketika anaknya memerintahkan beberapa murid Nur Wakit untuk mengeijakan tanahnya bagi keuntungan dirinya, Nur Wakit mengutuknya, hingga anak itu jadi buta. Walaupun menurut keturunannya, Nur Wakit adalah seorang raden mas—yaitu, seorang bangsawan—tetapi ia tak suka bergaul dengan kaum priyayi; menurut pendapatnya, mereka ini sangat angkuh serta takabur dan itulah sebabnya, ia pergi ke desa untuk hidup bersama rakyat biasa.