REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju Prof Muhammad Sirajuddin Syamsuddin atau yang akrab dipanggil Din Syamsuddin mengatakan kebijakan kenormalan baru (new normal) akan mengoreksi berbagai sistem dunia pascapandemi Covid-19. Pemerintah Indonesia berencana menerapkan kebijakan new normal ini.
"Karena pandemi ini buah dari sistem dunia yang lama dan turunannya, yakni pada sistem ekonomi, politik dan budaya," katanya saat diskusi virtual terkait The New Normal Indonesia yang dipantau di Jakarta, Sabtu (30/5).
Ia mengatakan menurut telaah sistem dunia selama ini yang berusia hampir satu abad bertumpu pada humanisme sekuler kemanusiaan yang sekularistik. Hal tersebut hanya memandang hidup manusia kini dan di sini tidak ada nanti dan di sana.
Kemudian, tidak ada yang disebut dengan dimensi eskatologis sebagaimana yang diajarkan agama. Eskatologi merupakan ilmu teologi yang berbicara tentang hal-hal yang bertalian dengan akhir zaman
"Maka lahirlah tidak ada pertanggungjawaban," katanya.
Din mengatakan hal tersebutlah yang melanda dunia dan terjadi aneka kerusakan. Bahkan, sejumlah pakar menyebut saat ini sedang terjadi gangguan besar.
Selanjutnya ada pula yang menyebut situasi saat ini tengah terjadi pergeseran besar hingga ketidakpastian dunia. Karena itu, kenormalan baru diharapkan dapat menciptakan suatu tatanan yang lebih baik dan tidak sekadar kembali kepada kehidupan ke belakang.
"Bagi kita di Indonesia 'new normal' tentu harus menjadi harapan agar krisis segera berlalu," kata ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015 itu.
Dalam konteks keindonesiaan, masyarakat dan semua pemangku kepentingan perlu mencari tahu makna apa yang diberikan pada kenormalan baru itu. Terakhir, kata dia, sebagai manusia yang beriman dalam masing-masing agama menginginkan tatanan baru tersebut tidak lepas dan jauh dari nilai-nilai ketuhanan.
"Artinya, musibah-musibah harus dihadapi dengan instrospeksi diri, mawas diri terhadap apa saja yang dilakukan selama ini," kata Din Syamsuddin.