REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES -- Unjuk rasa yang berujung rusuh di kota-kota besar di seluruh negara bagian Amerika Serikat (AS) berlanjut hingga hari keenam, Ahad (31/5) waktu setempat. Protes dipicu oleh kematian seorang pria kulit hitam Afrika-Amerika, George Flyod di tangan polisi Minneapolis.
Jam malam pun diberlakukan di hampir 40 kota. Namun, sebagian besar orang yang memprotes mengabaikan jam malam itu sehingga tidak sedikit yang disertai dengan kekerasan.
Polisi antihuru-hara bentrok dengean pengunjuk rasa di New York, Chicago, Philadelphia, dan Los Angeles. Polisi menembakkan gas air mata dan peluru cabai sebagai upaya membubarkan massa. Sementara, para pengunjuk rasa membakar kendaraan polisi, dan toko-toko di sejumlah kota dijarah
Pasukan militer AS untuk keadaan darurat lokal, Garda Nasional dikerahkan. Garda Nasional mengatakan, bahwa 5.000 personelnya telah diaktifkan di 15 negara bagian hingga Washington DC. Sebab di Gedung Putih pengunjuk rasa berkumpul dengan menyalakan api dan melemparkan batu ke arah petugas antihuru-hara. Presiden AS Donald Trump sempat diamankan ke bunker saat demonstrasi pengecaman kematian George Floyd berlangsung di Gedung Putih.
"Lembaga penegak hukum negara bagian dan lokal tetap bertanggung jawab atas keamanan," ujar pernyataan Garda Nasional dikutip BBC, Senin (1/6).
Protes menentang kebijakan rasialis tersebut terjadi di lebih dari 75 kota di seluruh negara bagian AS. Di Denver, ribuan orang memprotes secara damai di Colorado State Capitol dengan berbaring telungkup dengan tangan di belakang punggung mereka dan meneriakkan: "Saya tidak bisa bernapas" yang merujuk ucapan Floyd sebelum meninggal.
Protes skala besar juga terjadi di Atlanta, Boston, Miami, dan Oklahoma. Ada juga beberapa insiden yang dilaporkan oleh polisi antihuru hara yang menanggapi para demonstran secara tidak proporsional. Di Atlanta, Georgia, dua petugas dipecat karena menggunakan kekuatan berlebihan, termasuk menembak laser pada dua mahasiswa muda.
Penuhnya jalan-jalan di kota-kota AS selama enam hari berturut terjadi setelah beberapa hari sebelumnya jalan-jalan di kota terlihat sepi karena pembatasan virus corona. "AS telah menyaksikan turbulensi rasial dan kerusuhan sipil yang paling luas sejak serangan hebat terhadap pembunuhan Martin Luther King pada 1968," ujar wartawan BBC, Nick Bryant.
Kasus Floyd menyalakan kembali percikan api kemarahan atas pembunuhan polisi terhadap warga kulit hitam Amerika. Bagi banyak orang, kemarahan itu juga mencerminkan frustrasi selama bertahun-tahun atas ketidaksetaraan dan pemisahan sosial-ekonomi, tidak terkecuali di Minneapolis itu sendiri, tempat George Floyd meninggal.
Awalnya, pada malam Senin, 25 Mei, polisi menerima telepon dari toko kelontong yang menuduh bahwa George Floyd telah membayar dengan uang kertas 20 dolar AS palsu. Petugas berusaha untuk memasukkannya ke dalam kendaraan polisi ketika dia jatuh ke tanah.
Flyod berulang kali mengatakan kepada polisi bahwa dirinya tidak bisa bernapas saat lehernya ditekan dengan lutut seorang polisi. Menurut polisi, ia secara fisik melawan petugas dan diborgol. Namun, video kejadian tidak menunjukkan bagaimana konfrontasi dimulai.
Dengan lutut petugas polisi yang kini telah ditahan, Derek Chauvin di lehernya, Floyd terdengar mengatakan "tolong, aku tidak bisa bernapas" dan "jangan bunuh aku". Menurut otopsi awal oleh pemeriksa medis daerah, petugas polisi berlutut di leher Floyd selama delapan menit 46 detik, hampir tiga menit setelah Floyd tidak responsif.
Hampir dua menit sebelum Chauvin mengangkat lututnya, petugas lain memeriksa pergelangan tangan kanan Floyd untuk mencari denyut nadi dan tidak dapat merasakannya. Dia kemudian dibawa ke rumah sakit dan dinyatakan meninggal sekitar satu jam kemudian.