Kamis 04 Jun 2020 14:14 WIB

Pro Kontra Sholat Jumat Dua Gelombang

Praktik sholat Jumat dua gelombang disebut tidak sesuai di Indonesia.

Sholat Jumat di era new normal berarti menerapkan protokol kesehatan dengan menjaga jarak fisik. Muncul pendapat berbeda mengenai kebolehan sholat Jumat dua gelombang di masa Covid-19.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Sholat Jumat di era new normal berarti menerapkan protokol kesehatan dengan menjaga jarak fisik. Muncul pendapat berbeda mengenai kebolehan sholat Jumat dua gelombang di masa Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Zahrotul Oktaviani, Imas Damayanti, Antara

Pembukaan tempat ibadah di masa new normal sudah mulai direncanakan. Aturan hanya boleh mengisi tempat ibadah dengan 50 persen kapasitas lalu menimbulkan kontroversi sholat Jumat dua gelombang di Tanah Air.

Baca Juga

Sholat Jumat dua gelombang berarti masjid menerima dua kali atau lebih sholat Jumat dalam satu hari. Praktik sholat Jumat bergelombang ini bukan baru pertama diadakan.

Dewan Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat namun menegaskan shalat Jumat dua gelombang tidak bisa dipraktikkan di Indonesia. Ketentuan itu hanya berlaku bagi wilayah yang Muslimnya menjadi minoritas.

"Kebolehan tersebut (sholat Jumat dua gelombang) berlakunya di negara-negara di mana umat Islam menjadi minoritas. Misalnya di Eropa, Amerika, Australia, dan sebagainya. Hal itu tidak bisa dijadikan dalil untuk menetapkan bolehnya hal yang sama di Indonesia, karena situasi dan kondisinya berbeda," ujar Ketua MUI Pusat, KH Yusnar Yusuf dalam konferensi pers virtual, Kamis (4/6).

Di negara-negara tersebut, umat Islam merupakan kelompok minoritas dan sangat sulit mendapatkan izin tempat untuk melaksanakan sholat Jumat. Adapun tempat yang ada, tidak bisa menampung semua jamaah.

Dengan kondisi di atas, tidak ada alternatif lain bagi mereka selain mendirikan sholat Jumat secara bergelombang di tempat yang sama. Kondisi tersebut termasuk kategori sebagai kebutuhan mendesak (hajah syar’iyah) yang membolehkan hal itu dilakukan.

Hal seperti itu disebut Kiai Yusnar tidak terjadi di Indonesia. Umat Islam mempunyai kebebasan untuk mendirikan sholat Jumat di tempat manapun yang sekiranya memungkinkan. Apalagi di Indonesia tersedia banyak tempat ibadah seperti masjid dan mushola.

"Pendapat tersebut (sholat Jumat dua gelombang) didasarkan pada dalil syari’ah (hujjah syar’iyah) yang lemah dan menyelisihi pendapat mayoritas (jumhur) ulama," lanjutnya.

Dalam taujihat tentang sholat Jumat di era tatanan kehidupan baru atau new normal life yang dikeluarkan MUI, disebut sholat Jumat dua gelombang atau lebih di satu tempat tidak tepat sebagai solusi dalam kondisi kehidupan normal baru. MUI menilai tindakan tersebut bisa menimbulkan kerepotan luar biasa (masyaqqah), bahkan menimbulkan bahaya secara medis.

Misalnya, untuk menunggu giliran sholat Jumat  gelombang berikutnya tidak ada tempat yang aman dan memadai untuk menunggu. Kondisi tersebut justru membuka peluang menimbulkan kerumunan yang bertentangan dengan protokol kesehatan.

MUI lantas berpandangan solusi untuk situasi ketika masjid tidak bisa menampung jamaah sholat Jumat karena adanya physical distancing, bukan dengan mendirikan sholat Jumat secara bergelombang di satu

tempat.

"Solusinya yaitu dibuka kesempatan mendirikan sholat Jumat di tempat lain. Seperti mushola, aula, gedung olahraga, stadion, dan sebagainya. Karena hal itu mempunyai dasar argument syari’ah (hujjah syar’iyah) yang lebih kuat dan lebih membawa kemaslahatan bagi umat Islam," kata Kiai Yusnar.

Sementara bagi jamaah yang datang terlambat sehingga tidak mendapat posisi di masjid ataupun tidak menemukan tempat sholat Jumat yang lain, wajib menggantinya dengan sholat Zuhur. Kondisi ini dibenarkan syari’ah (udzur syar’ie).

Hal ini juga disebut sesuai dengan Fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Sholat Jumat Dua Gelombang. Dalam fatwa itu disebutkan, "Orang Islam yang tidak dapat melaksanakan sholat Jumat disebabkan suatu ‘uzur syar’i hanya diwajibkan melaksanakan shalat Zuhur".  

Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla mengutarakan pendapat yang berbeda. Katanya, demi menyesuaikan aturan kapasitas masjid untuk memenuhi kebutuhan jamaah pelaksanaan sholat Jumat juga bisa dilaksanakan di samping masjid, mushola dan tempat umum. Kemudian, bagi daerah yang padat penduduk ibadah sholat Jumat bisa dilaksanakan dua gelombang.

"Karena ketentuan jaga jarak itu minimal satu meter, berarti daya tampung masjid itu hanya maksimal 40 persen daripada kapasitas biasa. Akibatnya, banyak jamaah tidak tertampung, tidak bisa sholat Jumat," kata Jusuf Kalla (JK) di Jakarta, Selasa (2/6).

Dengan situasi non-pandemi, JK mengatakan, situasi di masjid selalu penuh oleh jamaah setiap Jumat. Namun, di tengah pandemi Covid-19, umat diharuskan menjaga jarak fisik saat melaksanakan sholat Jumat di masjid.

"Dulu jamaah shalat Jumat membludak, tapi rapat. Kalau sekarang, jaraknya (harus) satu meter. Oleh karena itu, kami menganjurkan untuk sholat Jumat dilaksanakan dua kali atau dua gelombang atau dua shift. Itu bisa dan sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta Tahun 2001," kata JK yang juga Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI).

DMI menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 104/PP-DMI/A/V/2020 tertanggal 30 Mei 2020, yang berisi poin-poin terkait pembukaan masjid setelah kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selesai. SE tersebut mengacu pada SE Menteri Agama Nomor 15/2020 dan Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020.

Dalam SE DMI tersebut disebutkan untuk memenuhi kebutuhan jamaah dan dengan mempedomani tujuan syariah (maqashidus-syari'ah), pelaksanaan sholat Jumat diatur selain di masjid-masjid, juga di mushola-mushola dan tempat-tempat umum, serta bagi daerah-daerah yang padat penduduk, dilaksanakan sholat Jumat dua gelombang.

Anggota Majelis Tarjih da Tajdid Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Fuad Zain berpendapat sholat Jumat di new normal diperbolehkan dilakukan secara bergelombang. “Normalnya, sholat Jumat diperintahkan di awal waktu, tapi dalam kondisi darurat seperti sekarang maka diperbolehkan melakukan sholat Jumat secara bergelombang atau shift,” kata Fuad dalam live streaming, Kamis (4/6).

Sholat Jumat menggunakan skema bergelombang juga harus disertai dengan protokol kesehatan dan kemananan masjid yang dipatuhi oleh seluruh elemen.

Dia menjelaskan, keutamaan waktu sholat Jumat di masa normal adalah di awal waktu. Diibaratkan bahwa orang yang datang di waktu awal sholat Jumat bagaikan menyedekahkan seekor unta, sedangkan orang yang datang di waktu setelahnya diibaratkan bersedekah seekor sapi, dan di waktu berikutnya bagaikan bersedekah seekor domba, dan seterusnya.

Namun demikian di saat kondisi terdesak seperti masih berlangsungnya pandemi Covid-19 ini, dia memerintahkan hendaknya bagi seluruh masjid untuk menyelenggarakan sholat Jumat secara bergelombang. Alasannya agar terlaksananya protokol kesehatan.

Anggota Dewan Hisbah PP Persis, Drs KH. Uus Muhammad Ruhiyat, juga mendukung pendapat sholat Jumat dua gelombang tetap sah. Selama terpenuhi rukun dan syaratnya sholat Jumat.

"Gelombang berapa pun selama terpenuhi rukun dan syarat, maka sholat Jumatnya sah, sebab yang dimaksud sah itu adalah apabila terpenuhinya rukun dan syarat," kata KH. Uus dalam keterangan yang diterima Republika, Kamis (4/6).

KH. Uus menjelaskan, secara teknis dalam satu masjid harus dibatasi jumlah orang yang melaksanakan shalat Jumat. Hal ini dikarenakan menjaga jarak saf satu meter lebih setiap jamaah.

Karena masjid tidak bisa menampung semua jamaah untuk melaksanakan shalat Jumat dalam satu gelombang, maka diperkenankan melaksanakan shalat berikutnya. Cara ini juga dinilai menjadi solusi melaksanakan sholat jumat dimasa pandemic Covid-19.

    

Perihal shalat Jumat dibagi menjadi beberapa gelombang pernah terjadi di salah satu pabrik di daerah Bandung Selatan. Langkah ini diambil karena mesin pabrik tidak boleh berhenti sementara karyawan pabrik yang bekerja jumlahnya banyak.

"Masjidnya juga kecil dan jam istirahatnya bergantian. Jadi sholat Jumatnya pun dibagi menjadi dua gelombang," lanjutnya. KH UUS pun memberikan saran, baiknya jamaah yang berasal dari lokasi yang sama dengan status kasus Covid-19 masih rendah atau wilayahnya masuk zona kuning, dapat menjaga saf seperti biasa.

Awalnya, Sekretaris Jenderal MUI Pusat Anwar Abbas akan mengusulkan ke Komisi Fatwa terkait pelaksanaan sholat Jumat secara bergelombang untuk mengurangi adanya kerumunan orang dalam ibadah wajib mingguan tersebut. "Saya akan menyampaikan kepada Komisi Fatwa MUI untuk mempelajari kemungkinan pelaksanaan shalat Jumat di tengah wabah Covid-19 ini dilakukan secara bergelombang. Misalnya gelombang pertama pukul 12.00, kedua pukul 13.30, dan ketiga pukul 14.00," kata Anwar di Jakarta, Kamis (28/5).

Namun, Anwar Abbas kemudian menyatakan larangan terkait pelaksanaan sholat Jumat secara bergelombang. Karena secara syariah shalat Jumat tidak boleh dibagi dalam beberapa shift.

"Alasan physical distancing tidak kuat, karena kita bisa dan dibolehkan oleh agama untuk menyelenggarakan shalat Jumat di luar masjid yang ada, seperti di mushola, aula, ruang pertemuan, sekolah atau bangunan-bangunan yang ada di sekitar masjid tersebut, yang kita ubah menjadi tempat sholat Jumat," kata Anwar di Jakarta.

MUI lantas melakukan kajian terhadap gagasan tersebut. Hasilnya, MUI menilai solusi sholat Jumat dua gelombang tidak tepat diberlakukan di Indonesia. Hal ini berpatokan pada Fatwa Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Shalat Jumat Dua Gelombang.

MUI Pusat menilai fatwa tersebut masih relevan dan paling membawa mashlahat untuk menjawab permasalahan yang muncul saat ini. Dalam taujihat atau panduan yang dikeluarkan, MUI menilai fatwa di atas disebut mempunyai pijakan dalil syari’ah (hujjah syar’iyah) yang lebih kuat untuk konteks situasi dan kondisi di Indonesia.

Ia juga menyebut, hukum asal dari sholat Jumat adalah sekali saja dan hanya dilakukan di satu masjid di setiap kawasan serta dilakukan dengan segera tanpa menunda waktu. Dalam kondisi dharurah atau kebutuhan mendesak (hajah syar’iyah), dibolehkan mengadakan sholat Jumat di lebih dari satu masjid.

"Kebutuhan mendesak ini contohnya, jarak yang jauh antara tempat penduduk dan masjid. Atau masjid yang ada kapasitasnya tidak dapat menampung seluruh jamaah di satu wilayah," ujarnya.

Para ulama dari zaman ke zaman juga disebut tidak memilih opsi sholat Jumat dua gelombang atau lebih di tempat yang sama. Mereka lebih merujuk mengizinkan sholat Jumat di lebih dari satu masjid (ta’addud al-Jum’ah) di satu kawasan, bila keadaan menuntut seperti yang telah diuraikan di atas.

MUI Pusat menilai solusi yang tepat untuk kondisi saat ini, dimana masjid tidak bisa menampung seluruh jamaah sholat Jumat karena adanya jarak fisik, bukan dengan mendirikan sholat Jumat secara bergelombang di satu tempat. MUI lebih mendorong membuka kesempatan mendirikan sholat Jumat di tempat lain, seperti mushala, aula, gedung olahraga, atau stadion.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement