REPUBLIKA.CO.ID, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan pemerintah di berbagai negara di dunia telah mengubah kebijakan penanganan Covid-19 berdasarkan data yang cacat. The Guardian melaporkan, WHO dan sejumlah negara menggunakan data dari sebuah perusahaan analisis kesehatan Amerika Serikat (AS), Surgisphere.
Tidak hanya itu, The Guardian juga mengungkapkan, jurnal medis paling bergengsi di dunia juga menggunakan data dari perusahaan tersebut. Tidak terkecuali Lancet dan New England Journal of Medicine. Data yang diklaim didapatkan secara sah lebih dari seribu rumah sakit di seluruh dunia itu membentuk dasar artikel ilmiah. Artikel-artikel tersebut juga menjadi penyebab perubahan kebijakan pengobatan Covid-19 di beberapa negara di Amerika Latin.
Laporan The Guardian menyebutkan, Surgisphere mempekerjakan seorang penulis fiksi ilmiah dan model konten dewasa. Perusahaan ini memberikan data untuk berbagai studi tentang Covid-19 yang ditulis bersama kepala eksekutifnya, Sapan Dasai. Pada Rabu (3/6), Lancet telah merilis ekspresi keprihatinan tentang studi yang dipublikasikan. Begitu juga The New England Journal of Medicine yang mengeluarkan pemberitahuan serupa.
Di dalam situs resminya, Lancet merilis: “Pertanyaan ilmiah penting telah diajukan tentang data yang dilaporkan dalam makalah Mandeep Mehra et al — Hydroxychloroquine atau chloroquine dengan atau tanpa makrolida untuk pengobatan Covid-19: analisis registri multinasional1 — diterbitkan di The Lancet pada 22 Mei 2020. Meskipun suatu audit independen dari penulis yang tidak berafiliasi dengan Surgisphere atas asal dan validitas data telah dilakukan dan sedang berlangsung, dengan hasil yang diharapkan sangat singkat, kami mengeluarkan Ekspresi Kepedulian untuk mengingatkan pembaca tentang fakta bahwa pertanyaan ilmiah serius telah diajukan untuk perhatian kita. Kami akan memperbarui pemberitahuan ini segera setelah kami memiliki informasi lebih lanjut.”
Pada 22 Mei lalu, Lancet menerbitkan studi blockbuster peer-review yang menemukan obat antimalaria hydroxychloroquine. Studi mengaitkan penggunaan obat dengan tingkat kematian yang lebih tinggi pada pasien Covid-19 dan peningkatan masalah jantung. Padahal, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memuji obat tersebut sebagai obat ajaib meski belum ada bukti kemanjurannya untuk mengobati Covid-19.
Studi yang dipublikasikan Lancet tersebut, mencantumkan Desai sebagai salah satu penulis bersama. Paper itu mengklaim telah menganalisis data Surgisphere yang dikumpulkan dari hampir 96.000 pasien dengan Covid-19. Berdasarkan studi itu, mereka dirawat di 671 rumah sakit dari database mereka di 1.200 rumah sakit di seluruh dunia. Pasien-pasien itu menerima hydroxychloroquine sendiri atau dalam kombinasi dengan antibiotik.
Temuan negatif ini menjadi berita global dan mendorong WHO untuk menghentikan uji coba hydroxychloroquine. Beberapa hari kemudian, Guardian Australia mengungkapkan kesalahan mencolok dalam data Australia yang termasuk dalam penelitian ini. Studi tersebut mengatakan para peneliti mendapatkan akses ke data melalui Surgisphere dari lima rumah sakit, mencatat 600 pasien Covid-19 asal Australia dan 73 kematian akibat Covid-19 pada 21 April.
Data dari Johns Hopkins University menunjukkan hasil berbeda. Hanya ada 67 kematian dari Covid-19 telah dicatat di Australia pada 21 April. Jumlahnya tidak meningkat menjadi 73 hingga 23 April. Desai mengatakan satu rumah sakit Asia secara tidak sengaja dimasukkan dalam data Australia, yang menyebabkan peningkatankasus di sana. Lancet menerbitkan penarikan kecil terkait dengan temuan Australia setelah laporan dari Guardian, satu-satunya revisi dari penelitian sejauh ini.
The Guardian juga telah menghubungi lima rumah sakit di Melbourne dan dua di Sydney. Semua rumah sakit menyangkal memberi kontribusi apa pun dalam data dari Surgisphere. Mereka pun mengaku belum pernah mendengar tentang Surgisphere. Desai tidak menanggapi permintaan untuk mengomentari pernyataan mereka.