REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG - Partai berkuasa Korea Utara pada Kamis mengatakan Amerika Serikat (AS) tidak pantas mengkritik China terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Hong Kong. Sementara AS sendiri mengancam akan "melepaskan anjing penjaga" untuk menekan warganya yang berunjuk rasa.
Dalam sebuah artikel yang dimuat oleh koran milik pemerintah Korea Utara, seorang juru bicara Departemen Hubungan Internasional Partai Buruh Korea (WPK), yang berkuasa, mengkritisi pernyataan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo.
Saat diwawancarai Fox News pada Ahad pekan lalu, Pompeo mengatakan langkah terbaru Partai Komunis China menunjukkan pihak itu "ingin merusak ide-ide Barat, demokrasi Barat, dan nilai-nilai Barat," serta "menempatkan warga Amerika Serikat dalam bahaya".
Ungkapan Pompeo terkait Hong Kong, Taiwan, isu HAM, dan perselisihan dagang merupakan pernyataan yang "tidak masuk akal" dan berusaha memfitnah kepemimpinan Partai Komunis China. Demikian kata juru bicara dari WPK.
"Pompeo yang terlibat erat dengan aksi mata-mata dan menciptakan plot untuk mengganggu negara-negara lain, luput menyadari dari mana matahari terbit dan ke mana ia tenggelam," ujar dia.
Ia mengatakan pernyataan semacam itu, yang disampaikan pejabat tinggi di AS, menunjukkan mereka khawatir situasi di Amerika Serikat dapat terus memburuk. Pendapatnya itu merujuk pada sejumlah unjuk rasa yang menentang aksi brutal kepolisian di AS.
"Demonstran marah karena rasisme ekstrem di AS yang bahkan dapat ditemui di Gedung Putih," kata dia.
"Situasi demikian merupakan kenyataan yang dihadapi AS hari ini. Liberalisme dan demokrasi yang dianut rakyat AS menempatkan para demonstran sebagai pendukung gerakan sayap kiri, bahkan mereka (otoritas setempat) mengancam akan melepas anjing penjaga untuk menekan para pengunjuk rasa," kata juru bicara dari WPK itu.
Kantor berita Korea Selatan, Yonhap, menyebutkan artikel itu merupakan pernyataan pertama yang dikeluarkan langsung oleh Departemen Hubungan Internasional WPK sejak Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, berkuasa pada 2011.