REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta badan usaha swasta dapat memperhatikan sejumlah pedoman terkait restrukturisasi kredit. Hal ini karena masing-masing anak usaha badan swasta dapat melakukan pinjaman pada beberapa bank yang berbeda.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan apabila badan usaha swasta berstatus stand alone maka restrukturisasi bisa diajukan langsung. Namun jika badan usaha swasta berbentuk grup maka pengajuan restrukturisasi harus diwakilkan perusahaan induk.
“Jangan nasabah anggota badan usaha swasta pada bank A, anggota lainnya juga jadi nasabah bank lain yang mungkin harus restrukturisasi. Hal ini yang kami pesankan ke bank agar dapat info jelas,” ujarnya kepada wartawan, Jumat (5/6).
Tercatat data OJK hingga 26 Mei 2020, realisasi restrukturisasi kredit perbankan sebanyak 5,33 juta debitur dengan outstanding kredit senilai Rp 517,2 triliun. Adapun restrukturisasi tersebut terdiri dari debitur UMKM yang berjumlah 4,55 juta dengan total nilai Rp 250,65 triliun dan debitur non-UMKM sebanyak 0,78 juta dengan total nilai Rp 266,57 triliun.
Realisasi restrukturisasi tersebut berasal dari implementasi yang dilakukan 96 bank. Sedangkan potensi restrukturisasi kredit hingga 26 Mei 2020 sebanyak 15,32 juta debitur dengan total baki debet senilai Rp 1.338,3 triliun.
Restrukturisasi tersebut terdiri dari debitur UMKM sebanyak 12,67 juta dengan baki debet Rp 561,1 triliun dan debitur non-UMKM 2,65 juta dengan total baki debet senilai Rp 772,2 triliun.
“Kita minta bank ada info detail dan harap lapor ke kita, bahkan sudah ada info tiap minggu. Angka ini moving terus berdasarkan perkembangan industri keuangan,” ucapnya.
Sementara Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK Heru Kristiyana menambahkan pihaknya akan lebih ketat mengawasi sektor jasa keuangan agar tidak terjadi risiko likuiditas maupun kredit macet.
“OJK mencermati perkembangan seluruh bank di tengah pandemi Covid-19. Kita juga melakukan pengawasan lebih ketat lagi karena memahami kredit menjadi prioritas,” ucapnya.
Berdasarkan kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan hingga April 2020 kredit perbankan hanya tumbuh sebesar 5,73 persen yoy lebih rendah dari Maret 2020 yang sempat mencapai 7,95 persen. Sedangkan angka piutang pembiayaan perusahaan pembiayaan tumbuh sebesar 0,8 persen yoy.
Dari sisi penghimpunan dana, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan tumbuh sebesar 8,08 persen yoy. Pada April 2020, industri asuransi berhasil menghimpun pertambahan premi sebesar Rp 15,7 triliun.
OJK memandang profil risiko lembaga jasa keuangan pada April 2020 juha masih terjaga pada level yang terkendali dengan rasio NPL gross tercatat sebesar 2,89 persen (NPL net Bank Umum Konvensional (BUK): 1,09 persen) dan Rasio NPF sebesar 3,25 persen. Risiko nilai tukar perbankan dapat dijaga pada level yang rendah terlihat dari rasio Posisi Devisa Neto (PDN) sebesar 1,62 persen, jauh di bawah ambang batas ketentuan sebesar 20 persen.
Dari sisi likuiditas dan permodalan perbankan berada pada level yang memadai. Rasio alat likuid/non-core deposit dan alat likuid/DPK April 2020 terpantau pada level 117,8 persen dan 25,14 persen, jauh di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen. Permodalan lembaga jasa keuangan terjaga stabil pada level yang memadai. Capital Adequacy Ratio BUK tercatat sebesar 22,13 persen serta Risk-Based Capital industri asuransi jiwa dan asuransi umum masing-masing sebesar 651 persen dan 309 persen, jauh diatas ambang batas ketentuan sebesar 120 persen.